Sabtu, 26 Februari 2011

TRADISIONAL MANDAR

Penulis Siti Dloyana Kusumah

Suku Bangsa Mandar terbilang penduduk asal di propinsi Sulawesi Selatan, dan mempunyai peranan sama pentingnya dengan tiga suku bangsa lainnya yaitu Bugis, Makassar dan Toraja. Orang-orang Mandar menempati wilayah administratif kabupaten Mamuju, kabupaten Majenen dan kabupaten Polewali Mamasa (Polmas). Menurut catatan sejarah, pada abad ke-XV wilayah Mandar ini meliputi Kerajaan Balanipa, Majeng, Pembauang dan Cenrana di pantai utara Teluk Mandar, serta wilayah di bagian utara Selat Makassar. Jadi tidak mengherankan apabila masyarakat suku bangsa Mandar mempunyai tradisi berbusana yang sangat indah dan mencerminkan kebesaran suku ini di masa silam.

Dalam kehidupan sosialnya, masyarakat Mandar sangat memperhatikan ketentuan adat dan tradisi yang telah dijalani selama berabad-abad lamanya. Salah satu contoh yang tetap bertahan hingga kini antara lain adalah tata cara berbusana. Masyarakat Mandar sangat membedakan busana untuk anak-anak, remaja dan orang tua, begitu pula busana rakyat biasa dengan kalangan bangsawan akan berbeda.

Dalam berbusana , wanita Mandar akan mengenakan sarung sutera berwarna hitam atau putih. Ciri khas sarung tenun Mandar adalah motif kotak-kotak besar dan kecil dengan hiasan warna emas pada garis-garisnya. Bajunya kebaya pendek berlengan tiga oerempat, terbuat dari bahan sutera atau kain halus lain tetapi tidak tembus pandang, dengan ukuran panjang melampaui pinggul atau kurang lebih lima centimeter di bawah pusar. Hiasan yang mempercantik penampilan adalah penambahan kepingan-kepingan logam warna emas di seluruh pinggiran kebaya atau kepingan-kepingan bulat di seluruh permukaan kebaya.

Kelengkapan busana lainnya adalah penggunaan sehelai selendang tipis yang ujung-ujungnya dihiasi dengan bundaran-bundaran emas atau perak. Tali ikat dari kain yang berfungsi untuk mengencangkan lilitan sarung, kipas dan berbagai perhiasan dari emas. Dalam kesempatan menghadiri upacara adat, wanita Mandar pada umumnya mengenakan perhiasan meliputi, kalung emas yang berjuntai agak panjang, dengan hiasan liontin atau medalion besar. Gelang berukuran besar yang dipakai masing-masing lima buah di tangan kanan maupun di tangan kiri. Pada bagian pinggang, setelah mengencangkan lilitan sarung dengan tali kain, kemudian ditutup dengan pending yang terbuat dari logam berwarna emas dengan gesper berhias di bagian depan.

Untuk tata rias rambut dan kepala, wanita Mandar membuat sanggul yang letaknya agak rendah dengan hiasan tusuk sanggul emas dan kembang goyang, Namun dalam keadaan yang lebih resmi, tata rias rambut dan kepala akan ditambah dengan beberapa aksesori seperti, rambut ditata dengan model sasak sedikit tinggi (sigara). Ada pula sanggul agak rendah, berhias tusuk konde dan di bagian pelipis kanan diselipkan serangkaian kembang goyang berwarna emas. Sederet bunga serampa dan bunga seruni menghiasi seputar sanggul. Untuk wanita yang usianya agak tua, menggunakan giwang emas berukuran besar dan di antara lubang telinga dengan giwang diselipkan sejumput kapas putih, adapun wanita muda umumnya lebih menyukai anting-anting yang berderet-deret dan menjuntai di kedua telinganya. Semua kalangan masyarakat Mandar, tua maupun muda, menggunakan alas kaki berupa selop atau sepatu pantovel berwarna hitam.

Busana pria Mandar lebih sederhana karena hanya terdiri dari baju jas tutup terbuat dari bahan sutera bercorak bebas dengan warna hitam atau warna cerah. Paduannya kain sarung tenun Mandar atau seringkali ada yang memakai celana panjang kemuidian ditutup dengan sarung hingga sebatas lutut. Untuk penututp kepala, pria Mandar menggunakan kopiah atau lazim disebut songkok tobone dengan warna yang serasi antara baju bagian atas dengan jas atau sarungnya.

Pria Mandar melengkapi busananya dengan melekatkan rantai emas yang diberi liontin atau medalion dari taring macan bahkan bisa juga terbuat dari taji ayam. Hiasan tersebut diselipkan sebagian di saku jas tutupnya dan sebagian lagi dibiarkan menjuntai ke luar. Alas kaki yang dipakai biasanya sepatu pantovel atau sandal yang dibuat dari kulit. akata-post http://tamanmini.com

Rabu, 23 Februari 2011

SPONDILITIS



  1. Pengertian
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra (Abdurrahman, et al 1994; 144 )
Spondilitis TB adalah peradangan granulonatosa yang bersifat kronis, destruktif oleh mikrobakterium TB. TB tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari focus ditempat lain dalam tubuh. Percivall (1973) adalah penulis pertama tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulnag belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott. (Rasjad, 1998).
Spondilitis TB disebut juga penyakit Pott bila disertai paraplegi atau defisit neurologis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra Th 8-L3 dan paling jarang pada vertebra C2. Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga jarang menyerang arkus vertebra (Mansjoer, 2000).
Penyakit Pott adalah osteomielitis tuberculosis yang mengenai tulang belakang. (Brooker. 2001)
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif yang disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosa.
Tuberkulosis yang muncul pada tulang belakang merupakan tuberkulosis sekunder yang biasanya berasal dari tuberkulosis ginjal. Berdasarkan statistik, spondilitis tuberkulosis atau Pott’s disease paling sering ditemukan pada vertebra torakalis segmen posterior dan vertebra lumbalis segmen anterior (T8-L3), coxae dan lutut serta paling jarang pada vertebra C1-2. 
Selengkapnya Download Disini

TUMOR UTERUS

A. Pengertian
`Tumor uterus adalah tumor alat genital yang bersifat neoflasma jinak yang terdapat pada ektoserviks maupun endoserviks-endometrium Atau suatu tumor jinak yang berbatas tegas, tidak berkapsul yang berasal dari otot polos dan jaringan ikat fibrous .

B. Jenis – jenis tumor uterus berdasarkan letaknya
 Ektoserviks terbagi atas :
Kista jaringan embrional : berasal dari saluran mesonefridikus wolffi terdapat pada dinding samping ektoserviks. Kista endometriosis yang letaknya suferfisial. Folikel atau kista nabothi yaitu kista retensi kelenjar endoserviks, biasanya terdapat pada wanita multipara, sebagai penampilan servisitis. Kista ini jarang mendapat ukuran besar berwarna putih mengkilat bersih cairan mucus. Kalau kista ini membesar akan menyebabkan nyeri.
Papiloma dapat tunggal maupun multiple seperti kondiloma akuminata. Kebanyakan papiloma ini adalah sisa epitel yang terlebih pada trauma bedah maupun persalinan.
Hemangioma ini jarang terjadi biasanya terletak pada superficial yang dapat membesar pada waktu kehamilan yang dapat menyebabkan metroragi
 Endoserviks terdiri atas:.
adalah suatu adenoma maupun adenofibroma yang berasal dari selaput lender endoserviks. Yang tangkainya dapat panjang keluar dari vulva. Epitel yang melapisi adalah epitel endoserviks yang dapat juga mengalami metaplasi menjadi lebih semakin kompleks.bagian polip ini biasa menjadi nekrosis dan mengalami perdarahan . polip ini berkembang karena pengaruh radang maupun virus.
 Endometrium
Polip endometrium sering didapati terutama dengan pemeriksaan histeroskopi. Polip berasal antara lain dari adnoma, adenofibroma, mioma , submukusum, plasenta.insiden tidak diketahui paling sering pada perempuan berumur 30-59 tahun. Kurang dari sepertiga memperllihatkan endometrium fungsional. Bisa memperlihatkan hyperplasia kistik. Bisa menonjol melalui serviks Disini

EPILEPSI


Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologis yang relatif sering terjadi dan merupakan gangguan fungsionaris kronis yang ditandai oleh aktivitas serangan yang berulang. Serangan kejang yang merupakan gejala atau manifestasi utama epilepsi dapat diakibatkan karena kelainan fungsional (motorik dan sensorik/psikis). Serangan tersebut tidak lama, tidak terkontrol serta timbul secara episodic dan berkaitan dengan pengeluaran impuls oleh serebral yang berlebihan dan berlangsung lokal.
Epilepsi oleh Hipocrates diidentifikasi sebagai sebuah masalah yang ada kaitannya dengan otak. Epilepsi dapat menyerang segala kelompok usia, juga segala jenis bangsa dan keturunan diseluruh dunia. Pada kebanyakan kasus mungkin terdapat interaksi antara predisposisi pembawaan dan factor-faktor lingkungan.
Fase dari aktivitas kejang adalah fase prodormal, aura, ikatal, dan poksital. Fase prodormal meliputi perubahan alam perasaan atau tingkah laku yang mungkin mengawali kejang beberap jam/beberapa hari. Fase aura adalah awal dari munculnya aktivitas kejang dan dapat berupa gangguan penglihatan, pendengaran atau rasa raba. Fase ikatal merupakan fase dari aktivitas kejang dan biasanya terjadi gangguan musculoskeletal. Sedangkan fase poksital adalah periode waktu dari kekacauan mental / somnolent / peka rangsang yang terjadi setelah kejang tersebut.
Selengkapnya Download Disini



TRAUMA EKSTREMITAS

Trauma ekstremitas jarang menimbulkan kematian pada penderita trauma, sehingga tidak mengherankan bila pembentukan dan pemeliharaan jalan pernapasan yang memuaskan, Ventilasi yang tepat serta Pengendalian dan Pendarahan, Pemulihan pendarahan bias mendahului Penatalaksanaannya. Perlu diingat bahwa akibat trauma ekstrimitas dapat memperberat masalah yang mengancam nyawaini. 

Nyeri yang menyertai trauma Ekstremitas bias menyokong Pasien, Ekstremitas dapat merupakan tempat kehilangan cairan. Membahas masalah trauma Ekstremitas tidak terlepas dengan hubungannya kulit, dimana kulit berfungsi melindungi Tubuh dari trauma dan merupakan benteng pertahanan terhadap bakteri, Virus dan jamur. Kehilangan panas dan penyimpangan panas diatur melalui Vasodilatasi Pembuluh Darah kulit atau sekresi kelenjar keringat 

Setelah kehilangan seluruh Kulit,maka cairan tubuh yang penting akan menguap dan Elektrolit-elektrolit akan hilang dalam beberapa jam saja. Contoh dari keadaan ini adalah Penderita luka bakar.Kulit yang menutupi ke empat ekstremitas meliputi lebih dari 50 persen permukaan tubuh dan bila terbakar, terpotong atau terabrasi, maka ia berpotensi sebagai tempat masuk infeksi. Pengenalan dini dan perhatian yang tepat terhadap luka ini termasuk pemakaian pembalut steril, penggunaan antibiotik dapat mencegah terjadinya infeksi.

Sehingga penting mengenal bahwa terapi tepat bagi ekstremitas yang cedera yang tidak hanya penting bagian tersebut nantinya tetapi bias memainkan peranan besar dalam melangsungkan hidup pasien.
Selengkapnya Download Disini

EKSTRAKSI VAKUM




  1. PENGERTIAN

            Ekstraksi vakum adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan dengan ekstraksi tekanan negative ( vakum ) pada bagian kepalanya. Tekhnik ini hampir sama dengan forsep namun yang membedakannya tekhnik penggunaan forsep penarikan dilakukan dari kedua sisi samping kepala janin/basis cranii sedangkan pada ekstraksi vakum janin di tarik dengan memasang cup pada bagian terdepan dari kepala janin sehingga dapat dikatakan janin ditarik keluar pada rambutnya.
            Vakum ekstraksi ini sendiri pertama kali diperkenanlkan oleh Malmstrom pada tahun 1956, menurutnya pengunaan alat ini cenderung lebih dominan daripada penggunaan forsep jika alat ini digunakan oleh orang yang terlatih dan terampil.
  1. INDIKASI
            Vakum ekstraksi diindikasikan pada ibu inpartu dengan kondisi :
  • Partus tidak maju
  • Gawat janin yang ringan
  • Partus lama kala II: kelelahan ibu (dapat dilihat dengan dehidrasi ringan,   nadi >100X/menit, urine pekat)
  • Toksemia gravidarum
  • Ruptura uteri imminens
  • Mempersingkat kala II pada ibu yang tidak boleh mengedan lama seperti   ibu yang menderita vitium cordis, anemia, koch pulmonum, astma
  • Udema porsio uteri
  1. KONTRAINDIKASI
            Kontraindikasi pada vakum ekstraksi antara lain :
-          Ibu : Ruptur uteri membakat, ibu  tidak boleh mengedan
-          Janin : Letak jantung, presentasi muka, presentasi bokong, preterm, kepala menyusul.
  1. SYARAT – SYARAT
            Syarat-syarat dari penggunaan vakum ekstraksi adalah :
-          Pembukaan serviks hampir lengkap
-          Ketuban telah pecah atau pecah
-          Tidak ada disproporsi sefalokpelpik dan disproporsi fetopelpik
-          Ukuran terbesar dari kepala janin telah lewat pintu atas panggul
-          Anak hendaknya hidup
-          Harus ada kontraksi rahim dan tidak ada tenaga mengedan
-          Lamanya waktu pemasangan mangkok pada kepala sampai dilepaskan tidak boleh lebih dari 30 menit. Selengkapnya Download Disini

CACAT GANDA


Cacat ganda merupakan keadaan dimana terjadi kerusakan atau disfungsi perkembangan pendengaran yang bersifat sensorineural yang diikuti oleh kerusakan perkembangan berbahasa atau komunikasi. Gangguan pendengaran pada usia berapapun dapat terjadi, kendati hanya merupakan gangguan pendengaran dengan derajat ringan sekalipun akan dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan pada kemampuan berbicara, penguasaan bahasa serta belajar.

Permasalahan yang paling utama dalam perkembangan anak-anak yang menderita kehilangan pendengaran yang parah sampai berat/mendalam, adalah kemampuan mereka untuk mengadakan komunikasi secara lisan dan bahasa yang mengalami gangguan. Anak yang tuli memang memperkembangkan suatu bahasa serta serta anak tuli, yang lahir pada orang tua yang tuli pulah mampu melakukan komunikasi satu sama lainnya serta serta dengan para orang tua mereka dengan efektif.

Kemampuan berbicara seseorang erat kaitannya dengan kemampuan mendengar. Stimulus bunyi dalam perjalannya akan sampai pada pusat pendengaran yang terletak pada salah satu bagian belahan otak kiri. Informasi bunyi ini akan diteruskan kebagian lainnya dari otak yang berperan sebagai pusat bicara dan akan menghasilkan sinyal bicara. Berdasarkan sinyal bunyi ini dimulai proses produksi bunyi.

Untuk menghasilkan bunyi prosesnya juga tidak sederhana karena dibutuhkan kerjasama berbagai organ tubuh dimulai dari aliran udara pernafasan yang berasal dari paru-paru, getaran pita suara (fonasi) yang dilewati aliran udara sehingga di hasilkan nada tertentu, pipa tenggorokan yang berperan sebagai tabung udara yang menimbulkan getaran pada saat dilalui udara (resonansi), penutupan langit-langit lunak agar udara tidak memasuki rongga hidung dan pengatupan bibir dengan maksud udara terkumpul di rongga mulut, yang akan membuka pada saat telah terjadi getaran pita suara. Proses ini masih diikuti dengan gerakan tertentu dari otot-otot lidah, rongga mulut dan gigi sehingga terjadi penyusupan suara kedalam bentuk kata-kata yang akan menandai karakter ujaran manusia (artikulasi).

Kerja berbagai organ tubuh ini dalam waktu yang hampir bersamaan dan terkoordinasi dimungkinkan oleh gerakan berbagai otot yang berada dalam kendali otak melalui syaraf-syaraf terkait. Berdasarkan keterangan tersebut di atas, sudah jelas bahwa gangguan pendengaran bilateral pada anak (terutama derajat sedang dan berat), yang terjadi didalam masa perkembangan wicara akan mengakibatkan gangguan wicara. 
Selengkapnya Download Disini



COMBUSTIO


Definisi

Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Irna Bedah RSUD Dr.Soetomo, 2001).

Etiologi

1.         Luka Bakar Suhu Tinggi(Thermal Burn)

a.         Gas
b.         Cairan
c.         Bahan padat (Solid)

2.         Luka Bakar Bahan Kimia (hemical Burn)

3.         Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn)

4.         Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury)


Fase Luka Bakar

A.       Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), brething (mekanisme bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gnagguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderiat pada fase akut.
Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera termal yang berdampak sistemik.

B.       Fase sub akut.
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan:
1.         Proses inflamasi dan infeksi.
2.         Problempenuutpan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak berbaju epitel luas dan atau pada struktur atau organ – organ fungsional.
3.         Keadaan hipermetabolisme.

C.       Fase lanjut.
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertropik, kleoid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur.
Selengkapnya Download Disini

Senin, 21 Februari 2011

ASAL MULA TARI PATUDDU

Sulawesi Barat atau disingkat Sul-Bar termasuk provinsi yang masih tergolong baru di Pulau Sulawesi, Indonesia. Provinsi yang dibentuk pada tanggal 5 Oktober ini sebagian besar dihuni oleh suku Mandar (49,15%) dibanding dengan suku-bangsa lainnya seperti Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan lainnya (19,15%). Maka tidak heran jika adat dan tradisi suku Mandar lebih berkembang di daerah ini. Salah satu tradisi orang Mandar yang sangat terkenal adalah tradisi penjemputan tamu-tamu kehormatan baik dari dalam maupun luar negeri.

Penyambutan tamu kehormatan tersebut sedikit berbeda dari daerah lainnya. Para tamu kehormatan tidak hanya disambut dengan /pagar ayu/ atau pengalungan bunga, tetapi juga dengan Tari Patuddu. Zaman sekarang, tarian ini biasanya dimainkan oleh anak-anak Sekolah Dasar (SD) dengan menggunakan alat tombak dan perisai yang kemudian diiringi irama gendang. Oleh karena itu, Tari Patuddu yang memperagakan tombak dan perisai ini disebut juga tari perang. Disebut demikian karena sejarah tarian ini memang untuk menyambut balatentara Kerajaan Balanipa yang baru saja pulang dari berperang.
Menurut sebagian masyarakat setempat, Tari Patuddu ini lahir karena sering terjadi huru-hara dan peperangan antara balatentara Kerajaan Balanipa dan Kerajaan Passokorang pada masa lalu. Setiap kali pasukan perang pulang, warga kampung melakukan penyambutan dengan tarian Patuddu. Tarian ini menyiratkan makna, ?Telah datang para pejuang dan pahlawan negeri,? sehingga tari Patuddu cocok dipentaskan untuk menyambut para tamu istimewa hingga saat ini.

Namun, ada versi lain yang diceritakan dalam sebuah cerita rakyat terkait dengan asal-mula tari Patuddu. Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah daerah pegunungan di Sulawesi Selatan (kini Sulawesi Barat), hidup seorang Anak Raja bersama hambanya. Suatu waktu, Anak Raja itu ditimpa sebuah musibah. Bunga-bunga dan buah-buahan di tamannya hilang entah ke mana dan tidak tahu siapa yang mengambilnya. Ia pun berniat untuk mencari tahu siapa pencurinya. Dapatkah Anak Raja itu mengetahui dan menangkap si pencuri? Siapa sebenarnya yang telah mencuri buah dan bunga-bunganya tersebut? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Asal-Mula Tari Patuddu berikut ini!


Alkisah, pada zaman dahulu, di daerah Mandar Sulawesi Barat, hiduplah seorang Anak Raja di sebuah pegunungan. Di sana ia tinggal di sebuah istana megah yang dikelilingi oleh taman bunga dan buah yang sangat indah. Di dalam taman itu terdapat sebuah kolam permandian yang bersih dan sangat jernih airnya. Pada suatu hari, saat gerimis tampak pelangi di atas rumah Anak Raja. Kemudian tercium aroma harum semerbak. Si Anak Raja mencari-cari asal bau itu. Ia memasuki setiap ruangan di dalam rumahnya. Namun, asal aroma harum semerbak itu tidak ditemukannya. Oleh karena penasaran dengan aroma itu, ia terus mencari asalnya sampai ke halaman rumah. Sesampai di taman, aroma yan dicari itu tak juga ia temukan. Justru, ia sangat terkejut dan kesal, karena buah dan bunga-bunganya banyak yang hilang. ?Siapa pun pencurinya, aku akan menangkap dan menghukumnya!? setengah berseru Anak Raja itu berkata dengan geram. Ia kemudian berniat untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah berani mencuri bunga-bunga dan buahnya tersebut.

Suatu sore, si Anak Raja sengaja bersembunyi untuk mengintai pencuri bunga dan buah di tamannya. Tak lama, muncullah pelangi warna-warni yang disusul tujuh ekor merpati terbang berputar-putar dengan indahnya. Anak Raja terus mengamati tujuh ekor merpati itu. Tanpa diduganya, tiba-tiba tujuh ekor merpati itu menjelma menjadi tujuh bidadari cantik. Rupanya mereka hendak mandi-mandi di kolam Anak Raja. Sebelum masuk ke dalam kolam, mereka bermain-main sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya.

Anak Raja terpesona melihat kencantikan ketujuh bidadari itu. ?Ya Tuhan! Mimpikah aku ini? Cantik sekali gadis-gadis itu,? gumam Anak Raja dengan kagum. Kemudian timbul keinginannya untuk memperistri salah seorang bidadari itu. Namun, ia masih bingung bagaimana cara mendapatkannya. ?Mmm...aku tahu caranya. Aku akan mengambil salah satu selendang mereka yang tergeletak di pinggir kolam itu,? pikir Anak Raja sambil mengangguk-angguk.
Sambil menunggu waktu yang tepat, ia terus mengamati ketujuh bidadari itu. Mereka sedang asyik bermain sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya. Mereka terlihat bersendau-gurau dengan riang. Saat itulah, si Anak Raja memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia berjalan mengendap-endap dan mengambil selendang miliki salah seorang dari ketujuh bidadari itu, lalu disembunyikannya. Setelah itu, ia kembali mengamati para bidadari yang masih mandi di kolam.

Setelah puas mandi dan bermain-main, ketujuh bidadari itu mengenakan selendangnya kembali. Mereka harus kembali ke Kahyangan sebelum pelangi menghilang. Pelangi adalah satu-satunya jalan kembali ke Kahyangan. Namun Bidadari Bungsu tidak menemukan selendangnya. Ia pun tampak kebingungan mencari selendangnya. Keenam bidadari lainnya turut membantu mencari selendang adiknya. Sayangnya, selendang itu tetap tidak ditemukan. Padahal pelangi akan segera menghilang.
Akhirnya keenam bidadari itu meninggalkan si Bungsu seorang diri. Bidadari Bungsu pun menangis sedih. ?Ya Dewa Agung, siapa pun yang menolongku, bila laki-laki akan kujadikan suamiku dan bila perempuan akan kujadikan saudara!? seru Bidadari Bungsu. Tak lama berseru demikian, terdengar suara halilintar menggelegar. Pertanda sumpah itu didengar oleh para Dewa.
Melihat Bidadari Bungsu tinggal sendirian, Anak Raja pun keluar dari persembunyiannya, lalu menghampirinya.
"Hai, gadis cantik! Kamu siapa? Mengapa kamu menangis?" tanya Anak Raja pura-pura tidak tahu.
"Aku Kencana, Tuan! Aku tidak bisa pulang ke Kahyangan, karena selendangku hilang, "jawab Bidadari Bungsu.
"Kalau begitu, tinggallah bersamaku. Aku belum berkeluarga," kata Anak Raja seraya bertanya, "Maukah kamu menjadi istriku?"
Sebenarnya Kencana sangat ingin kembali ke Kahyangan, namun selendangnya tidak ia temukan, dan pelangi pun telah hilang. Sesuai dengan janjinya, ia pun bersedia menikah dengan Anak Raja yang telah menolongnya itu. Akhirnya, Kencana tinggal dan hidup bahagia bersama dengan Anak Raja.
Kencana dan Anak Raja dikaruniai seorang anak laki-laki. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan mereka. Mereka mengasuh anak itu dengan penuh perhatian dan kasih-sayang. Selain mengasuh dan mendidik anak, Kencana juga sangat rajin membersihkan rumah.
Pada suatu hari, Kencana membersihkan kamar di rumah suaminya. Tanpa sengaja ia menemukan selendang miliknya yang dulu hilang. Ia sangat terkejut, karena ia tidak pernah menduga jika yang mencuri selendangnya itu adalah suaminya sendiri. Ia merasa kecewa dengan perbuatan suaminya itu. Karena sudah menemukan selendangnya, Kencana pun berniat untuk pulang ke Kahyangan.Saat suaminya pulang, Kencana menyerahkan anaknya dan berkata, ?Suamiku, aku sudah menemukan selendangku. Aku harus kembali ke Kahyangan menemui keluargaku. Bila kalian merindukanku, pergilah melihat pelangi!?
Saat ada pelangi, Kencana pun terbang ke angkasa dengan mengipas-ngipaskan selendangnya menyusuri pelangi itu. Maka tinggallah Anak Raja bersama anaknya di bumi. Setiap ada pelangi muncul, mereka pun memandang pelangi itu untuk melepaskan kerinduan mereka kepada Kencana. Kemudian oleh mayarakat setempat, pendukung cerita ini, gerakan Kencana mengipas-ngipaskan selendangnya itu diabadikan ke dalam gerakan-gerakan Tari Patuddu, salah satu tarian dari daerah Mandar, Sulawesi Barat.

Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah anjuran meninggalkan sifat suka mengambil barang milik orang lain. Sifat yang tercermin pada perilaku ketujuh bidadari dan Anak Raja tersebut sebaiknya dihindari. Ketujuh bidadari telah mengambil bunga-bunga dan buah-buahan milik si Anak Raja tanpa sepengetahuannya. Demikian pula si Anak Raja yang telah mengambil selendang salah seorang bidadari tanpa sepengetahuan mereka, sehingga salah seorang bidadari tidak bisa kembali ke Kahyangan. Sebaliknya, Anak Raja harus ditinggal pergi oleh istrinya, Bidadari Bungsu, ketika si Bungsu menemukan selendangnya yang telah dicuri oleh suaminya itu. Itulah akibat dari perbuatan yang tidak dianjurkan ini.
Mengambil hak milik orang lain adalah termasuk sifat tercela. Bahkan dalam ajaran sebuah agama disebutkan, mengambil dan memakan harta orang lain dengan cara semena-mena, sama artinya dengan memakan harta yang haram. Ada banyak cara yang dilakukan oleh seseorang untuk mengambil dan memakan harta orang lain secara tidak halal, di antaranya mencuri, merampas, menipu, kemenangan judi, uang suap, jual beli barang yang terlarang dan riba. Kecuali yang dihalalkan adalah pengambilan dan pertukaran harta dengan jalan perniagaan dan jual-beli yang dilakukan suka sama suka antara si penjual dan si pembeli, tanpa ada penipuan di dalamnya.
Setiap agama menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa menjunjung tinggi, mengakui dan melindungi hak milik orang lain, asal harta tersebut diperoleh dengan cara yang halal. Oleh karena itu, hendaknya jangan memakan dan mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak halal.

sumber asli http://ceritarakyatnusantara.com )

  #Isi cerita diringkas dari Wulandari. Asal-Mula Tari Patuddu. 2005. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
  #Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa
  #Anonim. "Sambut Tamu dengan Tari Patuddu", (http://www.sulbar.com/open.php?page=Tarian, diakses tanggal 16 November 2007). * Anonim. ?Sulawesi Barat?, (http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Barat, diakses tanggal 16 November 2007).
 #Anonim. "Perlindungan Islam terhadap Jiwa dan Harta", (http://www.perpustakaan-islam.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=177, diakses tanggal 20 November 2007). 



Minggu, 20 Februari 2011

SIRI’ DAN PENGARUHNYA DALAM MASYARAKAT

Oleh :


Drs. Anwar Sewang, M.Ag
(Sumber : Sosialisasi Siri pada Masyarakat Mandar, Penerbit Yayasan Maha Putra Mandar, 2001) 

A. Pengertian Siri’
Istilah (terminologi) siri’ dapat didekati dari sudut makna menurut bahasa namun dapat pula dicermati menurut kultural.

1. Makna Menurut Bahasa
Secara harfiah kata siri’ sistem adat di Sulawesi Selatan sepanjang pembacaan kita pada naskah-naskah lontara, sedikitnya memiliki dua makna fundamental yaitu malu dan harga diri. Seorang pemalu dinamakan tau pasiri’-siri’seng (bahasa Bugis) atau tau passiriang (bahasa Makassar) atau tau passiriang (bahasa Mandar).
Istilah siri’-siri’ bungkeng yang sangat dikenal dalam suku tertentu di Sulawesi Selatan merupakan penamaan bagi seseorang yang berada dalam keadaan sangat malu, sehingga digambarkan ibarat helai daun pinang yang berkerut karena dijemur dibawah terik sinar matahari. Hal ini juga sering digambarkan dengan sebuah keadaan dimana seseorang yang sangat ingin menikmati hidangan yang tersaji di perjamuan namun tertekan rasa malu karena merasa diperhatikan oleh tetamu yang lain.
Salah seorang pakar hukum adat Belanda BF. Matthes mengemukakan makna siri’ , sebagai berikut : 1. Beschanmmd, 2. Schoomvalling, 3. Verlegen, 4. Schaamte, 5. Eergevel, dan 6. Schande
Dalam pada itu pula laside (seorang budayawan) sebagaimana yang dikutip Laica dalam bukunya menerangkan bahwa siri’ dapat pula dikonotasikan sebagai sikap segan serta takut. Diberinya contoh ungkapan sebagai berikut :
a. Masiri’ka mewaki situdangang, nasaba engka onrotta (bahasa Bugis), artinya takut aku duduk bersama tuan, karena tuan memiliki kedudukan terpandang.
b. De’ga mumasiri’ri nabitta, nade muturusiwi penggajaranna, artinya tidakkah engkau takut kepada Nabi kita sehingga tidak mematuhi ajarannya.

2. Makna Kultural
Makna kultural kata siri’ berkaitan dengan hal yang menyangkut kahidupan budaya masyarakat suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan.
Suku-suku yang terdapat dalam lingkungan Sulawesi Selatan lebih menghayati makna kultural kata siri’ tidak dapat dipisahkan dengan kondisi kulturalnya. Dikatakan, bagi masyarakat Bugis secara umum pengertian kultural itulah yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari, karena apabila ia menyebut perkataan siri’ , maka esensi siri’ adalah dirinya sendiri.
Kamus Besar Bahasa Indonesia disumuskan entri kata siri’ dengan huruf akhir (k). tampa pembubuhan glottal stop (’) menurut makna kultural, sebagai berikut : Siri’ adalah sistem nilai sosio-kultural kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat.
Rumusan kultural yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut mengikuti defininisi (batasan) kata siri’ yang di tetapkan dalam Seminar masalah siri’ di Sulawesi Selatan yang berlangsung di Makassar pada bulan Juli 1977.
Namun dalam Kamus Bahasa Indonesia penerbitan berikutnya terdapat penambahan kata masyarakat Bugis pada perumusan entri kata sirik, sehingga rumusan kata siri’ dinyatakan sebagai berikut :
Aturan sistem nilai sosio-Kultural kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat pada masyarakat Bugis.
Penambahan kata masyarakat Bugis pada rumusan kata siri’ dapat menimbulkan kesalahpahaman, seakan-akan konsep budaya siri’ hanya terdapat di kalangan masyarakat Bugis. Siri’, selain terdapat pada masyarakat Bugis dan Makassar juga dikenal dalam konteks masyarakat Mandar dan Toraja.
Makna kultural kata siri’ baru dapat dihayati secara komprehensif manakal diamati dari sisi keberadannya sebagai sistem nilai budaya pada empat sistem adat suku yang ada di Sulawesi Selatan.
Kata siri’ tidak dengan tegas disebutkan dalam Surek Sulleang I Lagaligo namun terdapat kata siriatakka dalam manuskrip sastra Bugis kenamaan tersebut, yakni nama dua jenis tanaman yang dipandang merupakan perlambang (sennureng) terhadap kata siri’. B.F. Matthes (1874) berpendapat bahwa nama tanaman yang dilambangkan sebagai bali atakka sebagai bahasa Tobakke, yang digunakan mereka sebagai “omtezinspelen op siri, zich schamen, zijn eerkwijt zijn, enz, dewijl desiri-heester en de atakka-boom inde oudegedichten doorganstegelijk vermeld worden,zooddat de siri-huster als’t ware de neven-man van de attaka is. Nama tanaman siri atau sirih mempunyai kesamaan fonem dengan kata siri’. Penulisan kedua kata dimaksud adalah sama pula , yakni :
Salahuddin menggarisbawahi penyebutan nama tanaman siri atakka itu pada bagian episode Reulokna Batara Guru dalam Surek Selleang I Lagaligo. Dituturkan bahwa Datu Patoto To Palanroe, Dewata pencipta langit, yang bernama La Patiganna Ajik Sangkure Wira menghendaki salah seorang putranya turun ke bumi (alekawa) guna memimpin apa yang diistilakan sebagai “dunia tengah” itu. Setelah dimusyawarahkan pilihan jatuh kepada putra sulungnya yang bernama La Togelangi bergelar Batara Guru. Ketika melepas anaknya. Datuk Patoto berpesan kepadanya agar apabila ia turun ke bumi maka “…tiwiko ritu siri’ atakka narekko mattengnga lalenno nonro rilino … muadan-keng siri’ atakka ri ataunnu … ianatu matu mancaji alek ( bawalah sirih atakka … manakala engkau tengah dalam perjalanan menuruni bumi … susurkan siriatakka di bagian kananmu … itulah kelak menjadi hutan).
Menurut Salahuddin, kata alek (hutan) di sini bermakna pelindung bagi kehidupan.
Kalau kita mencari relevansi etimologi siri’ ke dalam Islam maka akan ditemukan sebuah istilah seperti haya’ dan ghirah (malu dan harga diri). Dua sifat yang tidak hanya sangat dijunjung tinggi dalam tradisi Islam akan tetapi juga diyakini sebagai bagian terpenting dari struktur keimanan seorang Muslim. Sehingga sering kali ditegaskan bahwa konsep siri’ dalam tradisi adat Sulawesi Selatan adalah sumber inspirasi dan inti dari bangunan kebudayaan mereka yang bersifat Islami.
Seperti telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya bahwa di Sulawesi Selatan telah pernah diadakan seminar masalah siri’ yakni tepatnya pada tanggal 11 sampai 13 Juli1977, diselenggarakan oleh Komando Daerah Kepolisian (KODAK) XVIII Sulawesi Selatan dan Tenggara dengan bekerja sama Universitas Hasanuddin. Seminar diadakan di Makassar (Ujung Pandang) serta diikuti antara lain oleh para aparat pemerintahan, cendekiawan, tokoh-tokoh masyarakat dan wakil pelbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia. 
Pada seminar nasional ini, telah dibicarakan dan dibahas bersama konsep siri’ dari sudut pandang pelbagai buday suku bangsa di Sulawesi Selatan serta perkaitannya terhadap pembangunan nasional, dengan menampilkan sejumlah makalah berkenaan dengan siri’. 
Seminar ini pula meletakkan batasan umum bagi pengertian siri’ sebagai berikut :
a. Siri’ dalam sistem budaya, adalah pranata pertahanan harga diri kesusilaan dan hkum serta agama sebagai salah satu nilai utama yang mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran dan perasaan dan kemauan manusia. Sebagai konsep budaya ia berkedudukan regulator dalam mendinamisasi fungsi-fungsi struktural dalam kebudayaan.
b. Siri’ dalam sistem sosial, adalah mendinamisasi keseimbangan eksistensi hubungan individu dan masyarakat untuk menjaga kesinambungan kekerabatan sebagai dinamika sosial, terbuka untuk beralih peran (bertransmisi), beralih bentuk (bertransformasi), dan dapat ditafsir ulang (reinterpretasi) sesuai perkembangan kebudayaan nasional sehingga siri’ dapat ikut memperkokoh tegaknya falsafah bangsa Indonesia, Pancasila.
c. Siri’ dalam sistem kepribadian, adalah sebagai perwujudan kongkrit di dalam akal budi manusia yang menjunjung tinggi kejujuran, keseimbangan untuk menjaga harkat dan martabat manusia.

 
B. Pandangan Masyarakat Terhadap Siri’
Terdapat pandangan yang memandang siri’ sebagai pancangan nilai dalam kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan Bagi pakar budaya misalnya A. Rahman Rahim yang mengemukakan bahwa siri’ adalah sala satu nilai utama kebudayaan masyarakat. Beliau juga kemudian mengklarifikasi nilai itu kedalam dua golongan besar yaitu nilai primer yang dibahasakan sebagai nilai utama dan nilai sekunder yang diasumsikan sebagai nilai yang tidak utama. Rahman Rahim mengacu pada pendapat SH. Alatas yang menyatakan bahwa nilai yang tidak berubah adalah nilai yang mengandung kemutlakan, yakni sifat tertentu yang harus melekat pada nilai utama. Kata mutlak di sini yang melekat pada pengertian nilai utama ditandainya dengan hal berlakunya suatu kebenaran yang tidak di batasi oleh faktor-faktor yang umumnya mempengaruhi sesuatu sifat yang dianggap benar atau baik menurut waktu dan tempat. Nilai yang tidak utama bersifat nisbi (relatif) yang dibatasi oleh waktu dan tempat.
A. Rahman Rahim selanjutnya mengemukakan enem nilai utama kebudayaan masyarakat sulawesi selatan yakni apa yang dalam tradisi masyarakat bugis dikenal dengan lempu’ (kejujuran), ammacang atau acca (kecendekiawanan), asitenajang (kepatutan), getteng (keteguhan), reso (keuletan) serta siri. Dikatakan bahwa masalah siri’ selalu menerik perhatian mereka yang hendak mengenal manusia dan kebudayaan khas sulawesi Selatan karena konsep siri’ selalu dihayati oleh orang-orang yang berpegang teguh pada ade’ serta sistim Pengadereng. Seseorang yang tidak memeliki siri’ adalah lepas dari konteks moralitas ade’ serta kesepakatan adat. Orang yang telanjang dari perasaan malu atau siri’ akan memberikan ruang gerak yang luas bagi lahirnya tindakan-tindakan anarkis dan tidak bertanggung jawab dalam hal ini di dala lontara orang ini dapat disejajarkan dengan binatang. Konsep ini tentunya seirama dengan Islam tentang kesetaraan manusia dengan binatang ketika mereka bertindak melampaui batas.
CH. Salam Basjah dan Sdappernas Mustaring sebagaimana yang dikutip Mattulada dalam Latoa Memberikan tiga penggolongan terhadap siri’ yaitu :
a. Siri’ itu sama artinya dengan malu, isin (jawa), shame (inggris);
b. Siri’ merupakn daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap apa atau apa saja yang menyinggung perasaan mereka. Hal ini merupakan kewajiban adat yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukum menurut norma-norma adat jika tidak dilaksanakan.
c. Siri’ itu sebagai daya pendorong yang bisa juga ditujukan ke arah pembangkit tenaga untuk membanting tulang, bekerja mati-matian, demi suatu pekerjaan atau usaha.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa siri’ merupakan pembalasan yang berimplikasi kewajiban moril untuk membunuh pihak pelanggar adat. Demikian pula M.Natsir Said, menempatkan batasan bahwa siri’ itu adalah perasaan malu (kreking/beledeging) yang dapat menimbulkan sanksi dari keluarga yang dilangggar norma adatnya.
Dapat ditarik sebuah benang merah bahwa untuk mendekati batasan siri’ itu tidak mungkin orang hanya memandang satu aspeknya saja atau hanya memperhatikan perwujudannya saja. Hal ini mudah dimengerti karena siri’ adalah suatu hal yang abstrak dan hanya akibat kongkritnya saja yang dapat diamati dan diobservasi. Dalam kenyataan sosial, kita dapat mengobservasi orang-orang bugis yang cepat merasa tersinggung, lekas menggunakan kekerasan dan balas dendam dengan pembunuhan. Hal ini memang banyak terjadi terutama dalam hal perjodohan , yaitu salah satu pranata sosial atau salah satu aspek dalam pangngadereng yang masih dapat bertahan, dibanding dengan unsur-unsur lainnya walaupun sekarang dari hari ke hari telah mengalami banyak perubahan. Namun demikian siri’ masih mempunyai arti yang esensial untuk dipahami, karena terdapatnya anggapan bahwa orang Sulawesi Selatan pada umumnya ia masih merupakan sesuatu yang melekat kepada martabat kehadirannya sebagai suatu pribadi dan sebagai warga dari suatu persekutuan. Masyarakat Sulawesi Selatan menghayati siri’ itu sebagai suatu panggilan yang dalam dari diri pribadinya, untuk mempertahankan suatu nilai yang dihormatinya. Sesuatu yang dihormati, dihargai dan dimilikinya mempunyai arti esensial baik bagi diri maupun bagi persekutuannya.
Berbagai ungkapan dalam bahasa khas Bugis (Sulawesi Selatan) yang mengambil wujud dalam kesusastraan, pesan amanah-amanah dari leluhurnya yang dapat dijadikan petunjuk tentang siri’ itu pada masyarakat Sulawsi Selatan.
a. Siri’e mi ri onroang ri lino. Artinya hanya siri’ itu sajalah kita hidup di dunia. Dalam ungkapan ini, termaktub arti siri’ sebagai hal yang memberi identitas sosial dan martabat kepada seseorang. Hanya kalau ada martabat atau harga diri hidup ada artinya.
b. Mate ri siri’ na. Artinya mati dalam siri’ yakni mati demi menegakkan martabat atau harga diri. Mati yang demikian dianggap sebagai suatu hal yang terpuji dan terhormat.
c. Mate siri’. Artinya orang yang sudah hilang harga dirinya dan tidak lebih dari bagkai hidup. Orang Sulawesi Selatan yang merasa mati siri’ akan melakukan jallo’ (amuk), hingga ia mati sendiri. Jallo’ yang demikian disebut napattatongi siri’na artinya ditegakkan kembali harga dirinya. Banyak terjadi dalam masyarakat Sulawesi Selatan baik di daerah-daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan terpencil peristiwa bunuh-membunuh dengan jallo’ dengan latar belakang siri’. Secara lahiriyah sering tampak seolah-olah orang yang masuk dalam kategori tersebut yang merasakan siri’ yang sanggup membunuh atau dibunuh, memperbuat sesuatu yang fatal karena alasan-alasan sepele atau karena masalah permpuan yang sesungguhnya harus dipandang biasa-biasa saja. Akan tetapi pada hakekatnya apa yang kelihatan oleh orang luar sebagai hal yang sepele dan biasa bagi kelompk masyarakat tertentu sesungguhnya hanya merupakan salah satu alasan lahiriyah saja dari suatu kompleksitas sebab-sebab lain yang menjadikan ia merasa kehilangan harga diri yang juga menjadi identitas sosialnya.
Masalah siri’ seperti banyak dipahami masyarakat mempunyai banyak segi-segi, sehingga ada kalanya ia di beri isi dan tanggapan sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, sesuatu yang sangat emosional seperti di tafsirkan oleh banyak orang yang menyamakannya dengan perasaan malu dan kebanyakan lagi di identikkan dengan masalah pelanggaran adat perkawinan misalnya kawin lari atau semacamnya. Hakekat siri’ hendaknya dilihat dari segi aspek nilai dari pangngedereng sebagai wujud kebudayaan yang menyangkut martabat dan harga diri manusia dalam lingkungan hidup kemasyarakatan. Nilai-nilai pangngedereng yang amat dijunjung tinggi masyarakat Sulawesi Selatan yang dapat membawa kepada peristiwa siri’ yang tersimpul pada hal-hal tersebut dibawah ini :
a Sangat memuliakan hal-hal yang menyangkut kepercayaan (keagamaan)
b Sangat setia memegang amanah (paseng) atau janji (ulu-ade’) yang telah di buatnya
c Sangat setia kepada Persahabatan
d Sangat mudah melibatkan diri pada persoalan orang lain (memiliki kepedulian sosial terhadap sesame.
e Sangat memelihara akan ketertiban adat kawin-mawin (wari).
Lima elemen tersebut disaring dari lima aspek pangngedereng yaitu ade’, bicara rapang, wari” dan sara’. Itulah yang paling banyak menimbulkan ekses-ekses berupa pembunuhan, jallo’, pemberontakan, pembangkangan dan meninggalkan negerinya dengan dimotori oleh semangat siri’.
Jadi adalah lumrah apabila jallo’, pembunuhan, pemberontakan, atau sejenisnya yang dilakukan baik secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok, itu hendaknya diperiksa motifnya pada konsep siri’ yang mereka anut. Apabila motif peristiwa dilatarbelakangi oleh siri’ maka pemulihannya dapat dirintis melalui nilai-nilai pangnhedereng juga.
Latoa berkata :
“ ada empat hal yang memperbaiki kekeluargaan yaitu ; pertama, kasih saying dalam keluarga, kedua, saling memaafkan secara kekal, ketiga, tidak segan memberi pertolongan dan pengorbanan demi keluhuran, keempat, mengingatkan untuk berbuat kebajikan”.
Pada kesempatan lain ahli-ahli lontara berkata :
bukankah yang demikian berarti bahwa ade’ ada buat kasih sayang, bicara ada buat saling memaafkan, rapang ada buat saling memberi pengorbanan demi keluhuran dan wari’ ada buat mengingatkan kepada perbuatan kebajikan”.
Dengan demikian tujuan hidup menurut pangngadereng tidak lain adalah untuk melaksanakan fitrah manusia guna mencapai martabatnya yakni siri’. Bila pangngadereng dengan segala aspeknya tidak ada lagi, akan terhapuslah fitrah manusia, hilanglah siri’ dan hidup tidak lagi artinya menurut orang Bugis. Jadi jawaban yang paling kena terhadap pertanyaan mengapa orang Bugis taat kepada pangngadereng ialah karena siri’.

C. Pengaruh Siri’ dalam Masyarakat
Sejak ledakan reformasi menjadi fenomena dominan bangsa ini, tiba-tiba saja wacana-wacana klasik kembali menyeruak ke permukaan dan mengambil tempat cukup urgent untuk dijadikan objek kajian. Wacana-wacana klasik tersebut tidak lain adalah konsep siri’ itu sendiri beserta unsur-unsur yang menyertainya. Betapa tidak, hal ini jelas menjadi dominan dibicarakan mengingat sekian banyak kasus siri’ (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) yang melibatkan tidak sedikit orang Bugis (Sulawesi Selatan) yang secara kultural sangat peka terhadap Persoalan-persoalan yang menyinggung harga diri dan membangkitkan perasaan primordial untuk tidak menyebut arogansi siri’ kedaerahan yang telah lama subur dan berakar di Sulawesi Selatan.
Dalam konteks makro Indonesia di luar Sulawesi Selatan sesungguhnya terdapat konsep yang sama menyangkut siri’ yang banyak dianut oleh suku-suku tertentu, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Widodo Widodarmo bahwa “… siri’ yang identik dengan perasaan malu terdapat juga pada suku jawa dengan istilah Wirang, pantang untuk orang, jenga untuk orang Bali dan sebagainya.
Konsep yang dikenal oleh mayoritas suku jawa yang meliputi kurang lebih 60 juta jiwa, menyimpan pula esensi nilai-nilai malu serta harga diri (martabat). Kata wirang atau awirang berarti malu melakukan. konsep ini juga ditemukan dalam karya proses jawa klasik, misalnya dapat dibaca dalam kitab Adipurwa, bagian pertama Wiracarita Mahabarata, yang ditulis pada Zaman Dharmawangsa di kala abad X, atau awal abad XI.
Istilah wirang dapat pula dibaca dalam karya proses jawa klasik lainnya, misalnya dalam Serat Sritanjung, kitab Calon Arang serta Babad Tanah Jawi.
Jika ditelaah secara mendalam pengaruh yang paling dominan mewarnai masyarakat yang menganut paham siri’ seperti di daerah yang disebut terkhusus dalam wilayah Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar, Mandar dan Toraja) dapat dirinci sebagaimana berikut:
1. Meningkatkan tingkat kedisiplinan. Disiplin adalah harkat, martabat dan harga diri. Dia merupakan refleksi dari ketinggian siri’. Menegakkan disiplin baik terhadap orang lain maupun terhadap diri dan keluarga, sesuai dengan fungsi dan peranan yang harus diemban sama dengan menjaga harkat, martabat dan harga diri. Berarti kita telah menunjukkan diri sebagai seorang yang mempunyai siri’. Siri’ pada dasarnya tolok ukur tentang harkat dan martabat. Tolok ukur keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara tanggung jawab dan kepatuhan. Seorang yang mestinya bertugas dan berwenang meluruskan yang bengkok, tapi tidak dapat dan tidak berani melakukannya berarti siri’ orang tersebut telah memudar. Demikian juga apabila seseorang membiarkan hak pribadinya dilanggar dan diinjak-injak di luar batas-batas hukum dan etika ini berarti siri’ yang bersangkutan telah menurun (berkurang).
2. Siri’ itulah yang mendorong keberanian dan ketegaran para pemimpin Appeq Banua Kaiyang sebagai wakil rakyat, untuk secara tegas menentang keputusan Daeng Mallariq. Siri’ itu pulalah yang menyebabkan Appeq. Banua Kaiyang memecat Daeng Riosok, siri’ itu pulalah yang menyebabkan semua raja Mandar mendukung Pammarica untuk menolak permintaan Gubernur Belanda. Hal ini pulalah yang mendorong Puang Cadia untuk secara tegas tanpa ragu-ragu merelakan I Kauseng, anak kandungnya menjalani hukuman mati. Apabila fungsionaris kerajaan itu tidak berani menjalankan peraturan yang berlaku karena takut pada raja, atau karena melindungi karena memihak pada keluarga sendiri, berarti mereka itu bukanlah orang yang bermartabat dan berharkat tinggi. Berarti harga diri telah memudar, berarti siri’nya telah mengalami erosi. Dengan demikian ia tidak patut lagi menduduki fungsi dan jabatannya itu, karena jabatan tersebut hanya diperuntukkan bagi mereka yang bermartabat dan berharkat tinggi.
Kearifan budaya Mandar yang berkaitan dengan ihwal disiplin di atas merupakan indikasi besarnya potensi budaya yang masih terpendam di berbagai daerah. Budaya tersebut memiliki kemampuan untuk menyodorkan tawaran-tawaran peranan, baik dalam ikut memecahkan issu pembangunan dewasa ini, maupun dalam merumuskan visi kebijaksanaan di masa datang yang dapat mewujudkan disiplin nasional.
Mewujudkan disiplin nasional, sasarannya tentu saja bukan sekedar menimpa ketaatan dan kepatuhan berdasarkan proses conditioning yang bersifat paksaan. Baik paksaan karena kekuatan maupun paksaan karena hukum. Akan tetapi sasaran yang paling ideal adalah menjadikan disiplin menjadi mental blue print. sehingga pola tingkah laku yang berstandarisasi, sehingga disiplin telah menjelma sebagai suatu unsur budaya yang hidup dan berfungsi, baik dalam wujud fungsi manifest maupun fungsi latent.
Studi kasus tentang segi budaya kearifan di kerajaan Balanipa-Mandar seperti dipaparkan pada bab terdahulu, memberikan gambaran adanya budaya disiplin dalam kehidupan masyarakat dan dalam lingkungan penyelenggaraan pemerintah Balanipa. Budaya disiplin ini mampu mewujudkan fungsi manifestnya dalam bentuk ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan dan pengaturan. Kemampuan mewujudkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan penegak hukum. Karena disiplin telah menjadi rambu-rambu dalam memandu bangsa dan negara. Dapat menimbulkan dampak psikologis terhadap setiap anggota masyarakat yang berupa tumbuh rasa berdosa (disiplin religious), rasa malu (disiplin sosial), gelisah dan tidak tentram karena menganggap bahwa awal disiplin berkaitan dengan harga diri, harkat dan martabat (disiplin affeltif).
Kearifan budaya Mandar memberi isyarat bahwa metode dan cara yang ideal, ialah metode sosialisasi melalui proses belajar simbolik. Hal ini sejalan dengan pendapat Loving Hallowel yang menjelaskan, “Transmisi Kebudayaan dilihat secara kenyataan, tidak boleh dipandang sebagai kemampuan yang diproleh melalui proses conditioning seperti sering kali ditemukan dalam deskripsi etnografi, melainkan sebagai dari proses belajar simbolik.
Proses perwujudan disiplin dalam kehidupan Balanipa Mandar, nampaknya diramu dalam beberapa langkah sebagai berikut :
a. Pemantapan pola peranan-peranan dalam bentuk pengaturan formasi lembaga kekuasaan yang efektif, seimbang, serasi dan saling berinteraksi perwujudannya adalah adanya Lembaga Kekuasaan eksekutif dan yudikatif yang berwibawa, dan adanya lembaga pengawasan yang mampu mengendalikan jalannya pelaksanaan kekuasaan.
b. Penciptaan iklim sosial yang segar yang mampu memberikan suasana kepercayaan dan kesadaran masyarakat tentang adanya kepastian hukum.
c. Memantapkan kepercayaan kepada hukum.
d. Timbulnya keteladanan yang sangat mutlak diperlukan di era globalisasi sekarang ini.
e. Adanya sistem nilai etika dan norma yang dapat menjadi pijakan dasar tegak tumbuhnya budaya disiplin. Siri’ ternyata telah mampu menjadi akar tunggang berdirinya disiplin, seperti terlihat dalam budaya Mandar dan budaya Sulawesi Selatan pada umumnya.
3. Nilai Lokko’ sebagai Daya Saring Positif (Perisai)
Sebagaimana dimaklumi di dalam Kongres Kebudayaan Mandar tahun 1991 antara lain dibicarakan mengenai peranan daya cipta dalam pengembangan kebudayaan. Proses yang dimaksud akan terjadi interaktif berkesinambungan yang di dalamnya terdapat daya cipta yang memegang peranan penting.
Daya cipta yang penulis maksudkan telah hadir dan telah mempengaruhi kebribadian setiap anak bangsa yakni sistem budaya lokko’ itu sendiri yang secara psikoanalisis dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Budaya siri’ memberikan dorongan secara sadar lahirnya reaksi-reaksi terhadap kekuatan tertentu yang negatif. Jadi meletakkan kondisi tertentu terhadap jiwa seseorang (pola pikir), budaya siri’ merupakan perangsang untuk bertindak positif dan hati-hati.
b. Budaya siri’ sebagai bagian dari secara keseluruhan sistem budaya global mengenai mekanisme reward and punishment, hal ini dengan sendirinya disamping sebagai “perisai” juga akan memberikan Konsekwensi logis (hukuman) terhadap kelakuan yang bertentangan atau mengusik ketentraman suatu masyarakat.
c. Budaya siri’ dapat dijadikan modal dasar memasuki proses belajar terutama dalam upaya memperkaya kepribadian.