OLEH :
DARMAWAN
MAS’UD RAHMAN
I. PENDAHULUAN
Sekitar
tahun 1970-an para peneliti budaya di Amerika mulai sadar bahwa
hasil-hasil tulisan (Armchair theory) para pendahulu mereka dari tahun
1800-1960-an dianggap biasa karena ia tidak merepresentasikan nilai
budaya dari orang yang ditelitinya, khususnya masyarakat dan budaya luar
Amerika. Di antara Pelopornya adalah Michael dan
Renato Rosaldo tercermin di dalam salah satu bukunya Knowledge and
Passion IIongot Nations Of Self & Social Life (1980) tentang
masyarakat IIongot di Philipina diikuti oleh teman-temannya seperti
Clifford Marcus dll. Pendapat mereka menyatakan bahwa nilai
budaya,apresiasi, Pikiran dan perasaan orang-orang yang diteliti harus
dapat merepresentasikan makna budaya mereka sesungguhnya dalam tatanan
nilai-nilai budaya lokal. Pendapat ini menggaung sedunia dan sampai
dewasa ini mendapat respons yang Positf dan menghasilkan berbagai
tulisan yang mempesona .
Interpretasi baru tentang
makna-makna budaya dalam nuansa lokal , antara lain dapat disebutkan :
Penulis Anna Lewenhaunt Tsing dalam bukunya In The Realm of the Diamond
Queen (1993) tentang masyarakat Meratus di Kalimantan dan Kenneth M
.George dalam bukunya showing Sign of Violence (1996) tentang pitu
ulunna salu ‘. Keduanya adalah penerima penghargaan kategori penulis
terbaik dimasanya . lebih menghebohkan lagi interpretasi baru dari
penulis John Pemberton dalam bukunya on the subject of java (1994) yang
melukiskan bahwa budaya adi luhung di dalam keratin jawa adalah rekayasa
Belanda.
Sehubungan dengan kebangkitan
interpretasi itu maka pengungkapan nilai budaya lokal merupakan
pengukuhan identitas untuk membuat batas-batas cultural antara bangsa
dan Negara. Ia menumbuhkan rasa percaya diri bagi munculnya
konsep-konsep nilai budaya luhur yang dapat menahan homogenitas budaya
global . Kubu budaya global dan budaya lokal telah menciptakan
tegangan-tegangan budaya yang meninggi , saling ingin mendominasi satu
dengan yang lainnya dan sulit untuk mendamaikan .
Dari
seluruh tulisan pakar-pakar budaya dunia mutakhir ternyata nilai-nilai
budaya lokal mempunyai peran yang penting sebagai motor penggerak dalam
berfikir dan berprilaku karena ia berfungsi sebagai piñata sikap dan
prilaku, pembentuk identitas, dan pembangunan kwalitas manusia . Ketiga
fungsi tersebut merupakan landasan kokoh yang dapat kemudian digunakan
untuk membaca ulang bagaimana seorang individu Mandar untuk mengerti ,
memegang, melaksanakan konsep-konsep nilai budaya yang diakuinya dalam
rasa dan perasaan kemandaran agar ia dapat beradaptasi secara sempurna
ke dalam binkai keserasian nilai budaya Indonesia yang teguh dan kekar
dalam mengarungi era budaya yang global. Nilai budaya kemandaran
tersebut perlu segera diangkat dan direaktualisasikan karena ia
merupakan puncak budaya Indonesia sesuai kandungan makna undang-undang
Dasar 1945 pasal 32 dan penjelasannya.
II.
MANDAR DALAM KEPUSTAKAAN ASING DAN INDONESIA
Diantara
Keempat etnis utama di Sulsel tulisan secara ilmiah tentang budaya
mandar masih dapat dihitung jari. Lebih sedih lagi kalau kita
membandingkan tulisan ilmiah yang diangkat dari ketiga etnis di Sulawesi
selatan . Salah satu contoh yang dapat dikemukakan bahwa ada sekitar 20
disertasi asing yang dibuat oleh Kenneth M. George (1994) tentang
Mamasa .
Di dalam bahasa Indonesia
tulisan ilmiah yang berkaitan dengan budaya kemandaran baru ada 4
disertasi . Diakui bahwa ada juga beberapa skripsi mahasiswa dan
tulisan-tulisan dari beberapa orang namun masih dalam bentuk informasi
dan belum merupakan suatu hasil tulisan melalui analisis wacana
(discourse analisis) dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah .
Demikian juga ada beberapa tulisan asing yang menyinggung tentang mandar
yang sulit ditemukan antara lain ditulis oleh Van Leyds (1940) ,
Ligtvoet (1876) , Mallinckrotd (1933), Nooteboon (1940), Bosch (1933),
Bikker (1932), De Graff & Stibbe (1918) , J . Dalton (1937) dll.
Disamping
itu ada tulisan-tulisan singkat telah dibuat oleh Robert Wells tentang
tenunan Mandar dan pengobatan tradisional , Toby Volkman dan Kathy
Rabinson tentang perenan wanita Mandar (1980-an) . Satu rencana
disertasi yang dibuat oleh Charles Zarnes yang telah meneliti tentang
penggunaan laut dan hukum-hukum adat (1986) namun hingga saat ini belum
selesai . Akibat minimnya penulisan tersebut maka kebudayaan Mandar
belum terungkap secara meluas , terbukti seminar internasional tentang
Sulawesi Selatan yang dilaksanakan di Australia (2000) pada konverensi
OXIS (The Origin of Complex Societi In South Sulawesi ) dan 2 buku
sebagai hasil seminar Internasional yang masing-masing dilaksanakan di
Leidin (1987) dan Makassar (1995) di dalam South Sulawesi In The Whole
Histori editor Kathy Rabbinson (2000) dan Authority and Among the people
of South Sulawesi editor Roger Tol, Van Dijk dan Greg Accoalli (2000)
Nederland sama sekali tidak menyinggung tentang Mandar.
Walaupun
Lontara-lontara Mandar kebanyakan telah hilang namun perlu dihargai
usaha dari Macknight (1972) memicrofilmkan beberapa lembar lontara dari
yayasan kebudayaan Sulawesi Selatan dan kini tersimpan di ANU , Canberra
, dan masih ada juga koleksi salinan lontara Mandar di leidin
Unifersity di Belanda.
III. REKONSTRUKSI
BUDAYA MANDAR MELALUI BERBAGAI SUMBER
Pada
tahun 1930-an Penilik sekolah Tn. Maula dalam inspeksi ke daerah
Kalumpang menemukan sebuah patung Budha perunggu di Sikendeng ditepi
sungai karama ‘ di Mamuju . Ia kemudian melapor kepada Y.Caron Gubernur
jenderal di Makassar dan langsung memerintahkan Dr.A.A Cense ke daerah
tersebut dan menemukan kreweng (gerabah) yang bercorak prasejarah dan
beliung-beliung persegi . Pada tahun 1933 atas perintah gubernur
jenderal , ahli arkeologi Van Stein Callenfels mengadakan panggilan di
kamasi, Palemba di kalumpang kemudian di lanjutkan tahun 1964 oleh DR.
Van Heekeren Penggalian di Kamasi dan Minanga Sipakko, hasil Penelitian
dari penggalian ini membuahkan sebuah pendapat bahwa situs-situs
tersebut di atas adalah salah satu tonggak budaya Indonesia yang
bernilai tinggi. Stein Callenfels dan Van Heekeren menemukan alat-alat
batu yang terdiri atas beliung persegi dalam ciri morfotehnologi yang
bervariasi dengan tajam monofasial. Tipe ini tersebar di asia tenggara
dan pasifik, sedangkan kapak batu atau kapak lonjong tidak hanya
tersebar di Indonesia bagian timur tetapi juga terdapat di beberapa
Negara antara lain Birma, Korea, Jepang, Vietnam, Thaiwan, Philipina
hingga ke pasifik . Pahat batu, batu asah batu giling semuanya merupakan
hasil industr lokal yang mempunyai tehnik pembuatan yang cukup baik
dilihat dari bentuk dan keluasannya. Disamping itu gerabah atau Kreweng
dengan hiasan-hiasan bervariasi mulai dari pola geometris, segitiga,
belah ketupat , bulat dan pilin memakai tehnik gores, tusuk, temple,
tekan dan eksisi sangat menarik. Bahkan Solheim 11 mengatakan bahwa
motif ini masuk Ke dalam kelompok Sahuynh Kalanay yang tersebar di Asia
Tenggara sampai ke Pasifik.
Penemuan batu
Pemukul Kayu untuk membuat Pakaian merupakan temuan penting di mana
manusianya telah mengenal busana di tambah lagi industri gerabah yang
berhias indah dan pembuatan batu halus yang di asah telah mengenal
tehnologi tinggi. Keseluruhannya member tanda bahwa orang Kalumpang
disamping menerima unsur budaya asing (Allochtone) juga tetap
mengembangkan budaya sendiri (Autochtone). Dasar budaya inilah sehingga
di dalam sejarah Kebudayaan Indonesia Kebudayaan Kalumpang merupakan
suatu tonggak yang penting di Indonesia dari tanah mandar
Patung Budha perunggu yang tersebut diatas
kemudian diteliti oleh Dr. Bosch (1933) yang menyimpulkan bahwa patung
itu adalah khas di bawah dari india selatan (Amarawati) ke Asia Tenggara
dan tipe patung Budha abad 11 sampai abad ke V1 masehi yang tidak ada
samanya di Indonesia.
Dari semua hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa situs Kalumpang , Minanga Sipakko, dan Kamasi
termasuk dalam kebudayaan hunian sungai yang bercorak
Neolitik-paleometalik (perundagian) yang berumur sekitar 1500 SM
berlanjut sampai pada abad 1 & 11 Masehi. Pelras dalam bukunya The
Bugis (1996) menyatakan sikendeng yang berada ditepi sungai karama’
perna merupakan pelabuhan Internasional.
Bila
penemuan diatas dihubungkan dengan cerita rakyat yang di rekam oleh Van
Leyds (1940) menyebutkan bahwa tanah Mandar telah dipimpin oleh 41
Tomakaka . Cerita rakyat lainnya mengatakan bahwa Tomakaka
berkristalisasi baik melalui koalisi ataupun perang antar mereka pada
akhirnya muncul Amara’diang –Amara’diang di pitu Ba’bana Binanga dan
pitu Ulunna Salu’. Cerita rakyat juga menyebutkan bahwa hubungan
genealogis antar mereka mulai dari Pa’doran yang beranak tujuh kemudian
melahirkan anak sebelas dari pongkapadang dan lambere’ susu sampai
kepada Ta’bittoeng sebagai cucu dari la’simbangdatu menurungkan
Tomannyambungi raja pertama di Balanipa. Keturunan mereka inilah yang
kemudian melahirkan manusia-manusia yang memerintah di pitu Ba’bana
Binanga dan pitu Ulunnasalu’. Berdasarkan landasan dasar budaya yang
tinggi dan demokratis itu dikokohkan Kerjasama akrab yang masing-masing
didampingi oleh pemangku-pemangku adat mulai dari poambi ‘ (pa’ambi’)
Tomakaka dan Peppuangan (institusi pappuangan) serta Mara’dia di
masing-masing wilayah mereka telah memberikan bukti munculnya berbagai
konsep-konsep nilai budaya yang dapat dijadikan pedoman untuk masa depan
.
Nilai-nilai budaya tinggi dalam
berbagai konsep-konsep yang sangat moderen telah dipunyai dan diamalkan
oleh orang-orang mandar sebelum di obrak-abrik oleh Belanda. Dari memori
Van Leyds ditemukan bahwa benturan antara bangsawan raja dan bangsawan
adat di mulai dengan kekalahan perang antara Belanda dengan
passimandaran yang diakhiri oleh perjanjian plakat pendek (lange dan
korte Verklaringe ) mulai pada tahun 1970-an dan berbagai
peraturan-peraturan yang mengikat pada tahun1880-an . Apalagi setelah
Mara’dia diangkat sebagai penguasa tunggal dan anggota adat adalah
bagian dari penguasa tunggal itu. Diperparah dengan perbedaan gaji yaitu
Mara’dia di gaji denga F 1800 setahun, dan anggota adat yang terdiri
atas : Pa’bicara kaiyyang di gaji dengan F 480, Pa’bicara Kenje dengan
gaji F 420 sedangkan pappuangan limboro Biring lembang dan tenggelang
mendapat gaji F 300 pertahun. Rakyat kecil di bebani dengan pajak yang
tinggi dan kerja rodi yang terdiri atas herediesent (rodi besar) dan
gemeentediesent (rodi kecil) yang dapat diganti dengan uang sebesar F 5
dan F 3 yang sangat memberatkan. Akibat ulah Belanda tersebut maka
puncak-puncak nilai-nilai budaya kemandaran yang luhur telah hancur dan
kemudian muncul nilai negative seperti sipat siri’ate (iri hati) ,
situna-tunai (saling menghina) sitaiyyang lassa-lassangan (saling
mencari kesalahan ), sitaiyyang adaeyang tassitaiyang apiyangan (saling
tuding) , sibesonaung tassibesodai ‘ (saling ingin mencelakakan satu
dengan yang lain) dll. Sifat-sifat itu disebut rasung digollai (racun
yang di beri gula) oleh orang Mandar.
Keadaan diatas
muncul akibat keserakahan Belanda untuk menguasai tanah Mandar melalui
strategi pembenturan antara bangsawan raja dan bangsawan adat . padahal
kesetaraan dan kerjasama yang akrab berdasarkan kewajiban demi tanah dan
rakyat telah tertanam sebelumnya secara baku. Hal tersebut tercermin
dari perjanjian luhur di masa awal munculnya Amara’diang pada pelantikan
Todilaling. Pada pelantikan itu ketua adat puang Dipoyosang bertitah :
Upakaiyyangngo’o,
mupakaraya, dimadondonna di duambongi anna Marra’ba-ra’bao petawung,
Mambottu-bottu bass’ , Marrattaso’o uwake’ , Marruppu’o batu, Marrusa’o
allewuang, Mamboe’o purallao ualai membali akaiyangan ( kami menjunjung
tinggi kebesaran dan kekuasaan raja, namun selayaknya raja selalu
menghargai hak dan peranan kami, besok atau lusa raja melakukan tindakan
berupa merusak hukum melanggar konstitusi, memotong aturan-aturan adat /
melanggar hukum, merusak dasar budaya dan kehidupan rakyat banyak,
menindas rakyat kecil, merusak persatuan dan kesatuan dan ingkar dari
kata dan janji maka saya cabut kekuasaan yang telah di berikan. Karena
itulah maka Ammara’diang di Mandar khususnya di Balanipa menggariskan
suatu kaidah politik yang menyatakan bahwa :
Anak
kodai mara’dia, Banua Kaiyyang toilopi (dalam kerajaan diibaratkan,raja
hanyalah sebagai nahkoda, sedangkan pemiliknya adalah rakyat melalui
wakil-wakilnya (dari Napo, Samasundu, Toda-Todang, Mosso ).
Selanjutnya
pesan dari Imanyambungi sebelum wafat mengatakan :
Madondong
duambongi anna matea’, mau’ ana’u mau’ appou, damuannai menjari
mara’dia , mua Tania tonamaasayangi pa’banua , damuannai dai’
dipe’uluang mua’ masuangi pulu-pulunna, mato’dori kedona, apa’ iamo tu’u
namarruppu-ruppu lita’ (besok atau lusa manakala saya mangkat, walau
dia putraku ataupun cucuku, janganlah hendaknya diangkat menjadi raja
kalau di tidak cintah tanah air dan tidak belah rakyat kecil, jangan
pula angkat seorang raja bila ia mempunyai tutur kata yang kasar,
berbuat dan bertindak kasar pula karena orang yang seperti itulah yang
akan menghancurkan negeri.
Nilai-nilai budaya
kemandaran lebih dipertegas lagi dalam Piagam Tammajarra : Inggai
Para diasse’I kedo ta’ –I sipa’ta’, diposoe soeta, para mellambai tau
di petawung marorota’, disesena panggauang namappatumballe’ lita’ inggai
sitaiyang apiangan, tassitaiyang adaeng, mara’ba sipatokkong , malilu
sipakainga’, dibuttu, dilappar, andiangi tau mala sisara’ malluluare’.
Madondong dumbongi anna daiang sara namappatumbiring lita’ anna disullu’
– I tammala diondongngi tammala, maganna’ tomi tia mesa tomuane
namaosoangnaung lette ingga lekkoang anna mimbere’ di waona lita’,
nasumbaling tomi tia me ita tama, nanarua tomi tunda simemanganna
todiolo’ membulu pindang tammembulu pinjari-jarianna, membura’bemme’
boi, meana’ takkeulu, meana’ sangga lette’ meana’ take lette’. Meana’
sangga ulu.
(Marilah kita melakukan yang
terbaik untuk kepentingan negri kita masing-masing, khususnya
kepentingan menjaga keamanan , kesejahtraan , demi kemaslahatan rakyat.
Mari kita bersama-sama mencari jalan yang baik demi kepentingan bersama
dan tidak mengutamakan jalan yang buruk . Andai kita hanyut, rebah dan
runtuh ,marilah bersama-sama untuk tolong menolong . Andai kita saling
khilaf, marilah saling mengingatkan baik digunung maupun di daratan
tidak ada sesuatu yang dapat memisahkan kekeluargaan kita sekalian .
Besok lusa mana kala ada kesusahan yang akan menghancurkan dan tidak
dapat lagi dilangkahi, dilewati dan dihindari karena teramat sukar .
Maka marilah membulatkan tekad yang teguh seteguh mungkin sebagai
ksatria perkasa dan siap mempertahankan negeri walau lancer sekalipun.
Siapa yang menyimpan dari kata sepakat ini ada merusak perjanjian yang
telah disepakati berarti ia tidak akan membela negeri ,ia keluar dari
persekutuan , hanya akan memandang dari luar kedalam , dan akan rusak
kejadian dari kemanusiaannya. Jika memijak tanah, tanah akan runtuh,
berpegangan di dahan, dahan akan patah bila berakar akarpun akan putus,
bertuns tunasnya juga akan hancur dan bila punya anak maka anaknya hanya
punya kepala tanpa kaki, jika punya anak anaknya hanya punya kaki tanpa
kepala. Peranan mara’dia demi tanah dan rakyat seperti yang telah di
pesankan oleh todilaling dipertegas lagi oleh mara’dia Balanipa Daetta
ke 1V Kakanna 1 Pattang yang berbunyi sebagai berikut :
Naiyya
mara’dia , tammatindo dibongi , tarrare diallo, namamandangmata,
dimamatana daung ayu, dimalimbonna rura, dimadinginna lita’, diajarinna
banne tau, diatepuanna agama (sesungguhnya seorang raja pemimpin, tidak akan terlena dalam lelap
tidur dikeheningan malam, tidak akan berdiam diri atau berpangku tangan
di waktu siang hari, namun ia terus berfikir dan berusaha untuk
meningkatkan hasil-hasil pertanian, berlimpah ruahnya hasil perikanan di
tambak-tambak’, terciptanya kedamaian dan ketentraman, demi menjaga
kelangsungan hidup manusempurnanya ajaran agama). Keserasian antara
pengaruh agama dan adat dimasa Daetta juga dijelaskan sebagai berikut
‘’Naiyya adat syara’ nala sulo, Naiyya syara’, adat nala
gassing, Matei adat mua’ andiang syara’ Matei syara’ mua’ andiang adat’’
(keberadaan hadat, syara’ dijadikan pedoman, sedangkan keberadaan
syara’ menjadikan kekuatan tulang punggung, musna syara’ tanpa kehadiran
hadat, musna hadat tanpa ditunjang oleh syara’)
IV. PUNCAK-PUNCAK
NILAI BUDAYA DALAM RASA KEMANDARAN
Pada awalnya kata ‘’Mandar’’ itu bukanlah suatu
penamaan yang terkait dengan geografis dan demografis tetapi ia
merupakan Kumpulan nilai-nilai yang bertitik tolak kepada sistem nilai
budaya yang luhur yang berasal dari kata ‘’ Waimarandanna odi ada’ odi
biasa’’ (kejernihan dari adat dan kebiasaan leluhur). Untuk menjadi
orang mandar seseorang wajib mengenal inti dari nilai Passemandaran yang
merupakan puncak nilai yang terkandung didalam tallu ponna atonganan (3
dasar kebijakan ) yang terdiri atas :
Mesa ponge’
pallangga (aspek ketuhanan )
Da’duatassisara’
(aspek hukum dan demokrasi )
Tallu tammalaesang
(aspek ekonomi, aspek keadilan dan aspek persatuan).
Ketiga
dasar kebijakan tersebut dijabarkan tersebut dijabarkan dalam annang
Pappeyappuu di Lita’ Mandar (Enam pegangan utama di tanah Mandar ) yang
terdiri atas :
Buttutandira’bai (tegaknya hukum
secara utuh) .
Manu’ tandipessissi’ (demokrasi
dalam segala lini kehidupan )
Bea’
tandicupa’(ekonomi kerakyatan yang merata)
Karra’arrangtandidappai
(keadilan tanpa takaran
Waitandipolong
(persatuan yang berkesinambungan )
Buttutanditema’
Diammemanganna Tokuana tokua (kutuhan keyakinan akan kekuasaan Zat yang
Maha Tinggi ).
Keseluruhan nilai itu berada
didalam suatu bingkai kokoh Mesa tanggesar yaitu odi ada’ odi biasa (
sesuai dengan adat dan kebiasaan adat ). Odi ada’ odi biasa inilah suatu
tanda masyarakat egalitarian karena orang Mandar tidak mengenal konsep
to manurung yang melahirkan masyarakat yang mempunyai stratifikasi
sosial yang ketat berdasarkan darah to manurung dan darah orang
kebanyakan. Hal tersebut ditegaskan oleh puang Dipojjosang ke 11 yaitu 1
Pasu tau Taji barani yang menyatakan dimuka Tomepayung bahwa kriteria
utama seorang mandar : Ita’ to mandar cera’ mappamula sipa’
mappacappurang disesena taupiatonganan ( kami orang mandar kriteria
darah hanya pada awalnya dan sifatlah yang menentukan pada akhirnya ).
Sifat itu tercermin di dalam ajaran luhur orang Mandar yang disebut
Limai gau diajappui na disanga paramata matappak ( lima perbuatan
sebagai permata yang bercahaya ) yaitu
Lappu ‘ sola rakee
(jujur bersama takut kepada sang pencipta )
Loa
tongan sola matikka (perkataan benar bersama waspada )
Akkalang
sola nia ‘ mappaccing (akal bersama niat yang suci ).
Siri
‘ sola pannassa (siri ‘ bersama keyakinan )
Barani
sola pappejappu (berani bersama ketetapan hati ).
Perbuatan
tersebut diatas terhalang bila :
Naiyya Massamboi Lappu gau’
bawang ( Adapun menutupi
kejujuran adalah perbuatan sia-sia )
Naiyya loa’tongang alosongang ( adapun menutupi perkataan
yang benar adala dusta )
Naiyya massamboi akkalang
abiloang (adapun yang
menutupi akal sehat adalah kebodohan)
Naiyya massamboi siri’ ke’lla-
ke’lla (adapun yang
menutupi siri’ adalah pikiran jahat )
Naiyya massamboi abaraniang
bali’balla (adapun yang
menutupi keberanian adalah khianat)
Cerminan dan
aplikasi nilai budaya tersebut terdapat dalam
Loa
mappa ‘bati’ di ada ‘ (perkataan tercrmin di dalam adat ). Ada’ mappa
‘bati’ di kedo (adat tercermin di dalam perbuatan )
Kedo
mappa ‘bati ‘ di gau’ (perbuatan tercermin dalam prilaku )
Gau’
mappa ‘bati’ di tau ( prilaku tercermin dalam tau )
Tau
mappa’bati’ di siri’ (tau tercermin di siri’ )
Siri’
mappa’bati’ di lokko’ ( siri’ tercermin dalam martabat dan harga diri
yang mendalam)
Perlu ditambahkan berbagai
konsep-konsep kebijakan dari nilai-nilai luhur kemandaran yang berkaitan
dengan kemasyarakatan sbb :
Kesepakatan. Mua ‘purami dipallandang
bassi’ pemali diliai, mua’ pura, di pobamba pemali di pepondo’I di
sesena atonanganan. B assi tambbottu petabung tarrabba (Apabila sudah
ditentukan sesuatu haram untuk dilangkahi, kalau sudah
diucapkan/disepakati pantang diingkari, aturan harus tetap berjalan
sesuai dengan asasnya ).
Penegakan Hukum. Naiyya ada’ tammaelo pai
dipasoso ‘tatti tonggang pai lembarna , ta ‘ keindopai, ta’ keamma ‘
pai, ta ‘kelelluluare ‘ pai, ta’ ke sola pai, ta’ ke wali pai andiappa
to dikalepa’na andiang to disaliwanna, andiang to na poriana, andiang to
nabire’na Tammappucung tandoppas toi ( yang disebut badan penegak hukum
adalah tegas dalam mengambil keputusan, tidak berat sebelah, tidak
beribu, tidak berbapak, tidak punya saudara, tidak punya teman, tidak
punya musuh, tidak diiming-iming kesenangan, tidak punya anak buah dan
tidak pernah serakah ).
Mencari Kebenaran ( Puang Sodo ) Appei ruppanna
uru bicara tutumasagala balibali palalo balibali. Sa’be balibali ( ada 4
pokok untuk memutuskan suatu masalah yaitu meneliti dan menganalisis
perkataan kedua belah pihak , kata benar dari keluarga kedua belah pihak
, saksi yang terpercaya dari kedua belah pihak .
Demokrasi. Mua’ mendi-mendi oloi elo’na
toarajang disesena odiada ‘ odibiasa, turu ‘I ada ‘mua’ mendi-mendi oloi
elona ada’ disesena odi ada’ odibiasa, turu’I Toarajang ( Apbila
keinginan bangsawan raja agak kedepan sesuai dengan adat dan kebiasaan
adat maka bangsawan adat hendaknya ikut dan demikian juga sebaliknya ).
Iyyakodhi rappanna anna mara’dia
anna to kaiyyang. Mua sisalai
rappanna, ditokaiyyang diule. Apa nauwang todiolo, iddai naule. Diule
dai, diule’naung . Mua sisalai tokaiyyang , tau tappa diule ( Inilah
suatu ibarat apabila mara’dia berhadapan dengan kaum adat, apabila
mereka bersebrangan maka kaum adat harus diikuti dan apabila kaum adat
bersebrangan dengan kaum adat maka rakyat harus dikuti ).
Otonomi
( Daetta Kakanna I Pattang )
Madondomg duambongi anna diang api naung bakarna napideitoi tia
alabena, mu’andiani mala napideitoi pendoama’o lao diindo ada’mu, mua
pitumbongi pitungallo andianni mala mupiddei siola indo ada’mu, pendoa
mo’o diama ada’mu apa nasiolamo’o mappiddei (besok lusa apabila ada api
menyala disuatu wilayah maka sebaiknya api itu dapat diredam sendiri dan
jika tidak dapat diredam hendaknya engkau meminta pertolongan kepada
ibu adatmu . Jika tujuh hari tujuh malam belum dapat diredam hendaknya
engkau dating ke bapak adatmu untuk datang bersama-sama meredam api itu
).
Kaiyyang tammaccina dikende ‘
kende’na tammaccinna dikaiyanganna
(yang merintah seharusnya tidak memaksakan kemauan kepada rakyat dan
rakyat tidak seharusnya memaksakan kehendak kepada yang memerintah ).
Konsep Kepemimpinan (tammatindo
dilangganna).Pallaku lakuanni mie lita’mu, apa’ medondong duambongi
inai-inai mala mappatumbalie lita’ di balanipa, ia tomo tia nadianna dai
dipeuluang, na dipesokkoi anna malai toma’tia naung ditambing
mengngada’dai ( pertahankanlah tanah air anda bila besok lusa siapapun
yang dapat menyelamatkan negeri Balanipa ia berhak diangkat sebagai
pemimpin dan saya akan turun tahta dan mendukung dengan sepenuh hati ).
Persatuan
( Ammana Wewang / Ammana Pattolawali ) Dotai tau siamateang mie
namembere diolona lita’ dadi nanaparentah tedong pute to kaper ( lebih
baik mati berkalan tanah dari pada diperintah oleh Belanda si Kafir
laknat). Disamping nilai-nilai tersebut di atas masih banyak lagi
nilai-nilai rasa kemandaran yang perlu diinventarisir untuk revitalisasi
dan direktualisasi dalam kehidupan keseharian orang mandar, misalnya
kebijakan luhur, etos kerja yang tinggi, berfikir secara positif,
menghargai iptek, bertindak secara propesional , persaingan dan
ketangguhan yang sehat . Apabila nilai tersebut dapat dijadikan pegangan
yang kuat bagi kehidupan dimanapun dan kapanpun. Saya yakin orang
Mandar akan tegar menghadapi segala macam gangguan yang mungkin merubah
orientasi nilai mereka di dalam mengarungi dampak negatif dari era
globalisasi ini .
RUJUKAN KEPUSTAKAAN
Andaya , L. Y , 1981 : The
Heritage of Arung Palakka, ver handelingen van Het Koninklijk institute
vorr Tall, Land-en volkenkunde 91 . The Hague Martinus Nijhoff.
Anonim , 1909 , Mededeelingen
Betreffende Eenige Mandharsche Landschappen (outleend aan het archief,
Van het , Departement van kolonien ). Didalam Bijdragen Tot De taal
land-en volkenkunde van Nederlandsch Indie 62; 649- 769.
Bikker, A, 1932 : Mededeelingen
Een en Ander over bet Onsttaan der destricten in de onderafdeeling
Binoeng en Pitoe- oeloena-saloe “ Ti –jdschrift Voor Indische Taal-, Lan
–en Volkenkunde 72 : 759 – 766.
Bosch, F , D , K , 1933 : Budha –
Beeld Van Celebes ‘ Weskust “ T . B . G . L XXIII, hal 495 – 513.
Dalton, John, 1968 (1837) : ‘’
Mamoodjoo in Mandar ‘’ (dalam) J .H . Moor , Notices of the Indian
Archipelago, Singapore (reprint) London hal 75-79
Graaff,De, S & stibbe D. G
(ed) .1918 “ Mandar Mandasch, Mandarsch Talen “. Encyelopedie van
Nederlandsch-Indie . Tweede dell (H-M). Leiden : ‘ S –Graven-Hage,
Martinus Ni jhoff, p. 684-685.
Heekeren,Robert Van (1992) : The
Stone Age of Indonesia, The Hagua : Martinus Nijhoff.
Mallinckrodt, J. 1933 : ‘’
Zuid-celebes serie P no. 77, Gegevens over Mandar en Anders .Landshappen
Van Zuid-Celebes. ‘’ adatrechtbundels KLTLV XXXV1Gravenhage’ : Martinus
Nijhoff.
Macknight,C.C,
1973 : ‘’Notes On South Celebes Manuscripts’’. Canberra :Departement O
Ligtvoet, A . 1876 .”
Naamsafleiding van het Rijk Balanipa in Mandar “ . Tijdschriff voor
Indische Taal Land –en volkenkunde 23 : 40-41.
Lopa, Baharuddin.1982 Hukum laut
. Pelayaran dan Perniagaan. Bandung, Alumni,
Rahman, Darmawan Mas’ud. 1988 .”
Puang dan Daeng di Balanipa’’ Suatu Kajian tentang sistem nilai budaya
orang Balanipa Mandar, Disertasi, UNHAS, Ujung Pandang
Rahman, Darmawan Mas’ud. 1987. “
Nilai Budaya ( Etos Kerja dan Semangat Kebaharian) dalam Sastra dan
Pola Tingka laku Orang Mandar ‘’ (paper) .Ujung Pandang : Seminar
Lagaligo.
Rahman,
Darmawan Mas’ud. 1987 .’’ Lokko dan Siri’ Orang Mandar ‘’ (paper).
Polewali : Seminar Budaya Mandar.
Rahman , Darmawan Masud. 1987.
‘’ Kekerabatan dan Politik di Balanipa : Suatu cerminan Hubungan
Balanipa dengan Gowa (Makassar) di Abad 16 sampai dengan 19 Masehi ‘’
(paper) . Internasional Workshop on Indonesia Studies no . 2, South
Sulawesi Trade , Society and Belief . Leiden : KLTL V .
Rahman, Darmawan Mas’ud . 1987.”
Sawerigading di Mandar ‘’ (paper) Seminar Nasional Folktale
Sawerigading . Palu (Sulawesi Tengah ) :Universitas Tadulako.
Stein Callenfels , P . V . Van
1951 . ‘’ Prehistoric Sites on The Karama River ‘’ University of Journal
of East Asiatic Studies , vol , I , no 1 . Oktober 1951.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar