Senin, 29 Agustus 2011

Kepastian 1 Syawal 1432 Hijriah

KITA bisa merasakan kebingungan yang dihadapi masyarakat berkaitan dengan penetapan Idul Fitri 1432 Hijriah. Bayangkan, hingga pukul 20.30 WIB belum juga kunjung ditetapkan kapan jatuhnya  1 Syawal 1432 Hijriah tersebut.

Ketidakpastian penetapan 1 Syawal berpengaruh terhadap apa yang harus dilakukan masyarakat pada hari Senin malam. Apakah mereka harus melakukan Salat Tarawih lagi ataukah sudah harus melakukan takbiran?

Dari hasil pemantau hilal di seluruh Indonesia memang tidak terpenuhi syarat bahwa 1 Syawal jatuh pada tanggal 30 Agustus. Hilal tertinggi yang terlihat baru menunjukkan 1,38 derajat. Padahal minimum untuk menentukan terlihatnya hilal harus mencapai 2 derajat.

Kita tentunya menyerahkan kepada para ulama untuk menetapkan 1 Syawal. Kita percaya bahwa para ulama lebih bisa melihat sesuai dengan keahliannya. Hanya saja kita mengharapkan keputusan itu bisa cepat dilakukan, tidak digantung tanpa kepastian.

Para ulama juga diharapkan bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat. Kita mengharapkan para ulama bisa menyamakan dalil-dalilnya karena berangkat pada basis yang sama yakni Al Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW. Apalagi kita tinggal pada tempat yang sama yakni Indonesia.

Kita tentu tidak menentang adanya perbedaan penafsiran. Namun perbedaan penafsiran itu seharusnya bisa dipertemukan persamaannya, sehingga kemudian bisa memberi kepastian kepada masyarakat umum.

Dalam beberapa tahun terakhir kita melihat bagaimana masyarakat dihadapkan kepada sesuatu yang sulit bisa mereka pahami. Pelaksanaan Idul Fitri dilangsungkan secara berbeda-beda oleh kelompok masyarakat.

Kita memang harus bisa menerima perbedaan dan tidak perlu harus ribut. Namun tetap sulit untuk bisa dipahami ketika di sebuah negara yang sama, dengan dasar agama yang juga sama, bisa terjadi perbedaan dalam menerjemahkan kapan tepatnya 1 Syawal itu jatuh.

Apalagi kita sekarang hidup di zaman yang serba modern. Teknologi seharusnya bisa  menolong kita untuk melihat fenomena alam. Termasuk dalam melihat terjadinya munculnya bulan sabit atau hilal.

Dalam penetapan 1 Syawal sekarang ini, kita memang sudah melibatkan para ahli astronomi. Kita minta ahli-ahli kita yang bekerja di observatorium untuk ikut membantu melihat munculnya bulan. Mereka sudah menyampaikan bahwa hilal belum tampak, apalagi dengan patokan terlihat dua derajat seperti yang ditetapkan Majelis Ulama Indonesia.

Pernyataan yang disampaikan Direktur Boscha, Mudji Raharjo pantas untuk menjadi perhatian kita bersama. Bahwa sebaiknya para ulama bersepakat tentang penentuan tingginya hilal yang seharusnya bisa terlihat. Selanjutnya semua pihak harus menghormati kesepakatan ini agar tidak menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat.

Kita jangan menyederhanakan persoalan bahwa perbedaan itu bukanlah masalah. Memang kita bersyukur bahwa masyarakat kita sudah dewasa dan mampu menerima perbedaan. Namun tetap saja ada keanehan yang mereka rasakan dan itu tentunya tidak baik terus dibiarkan.

Pemerintah harus tampil untuk memberi kepastian. Pemerintah harus mampu merangkul seluruh organisasi keagamaan untuk bisa mencapai sebuah kesepahaman. Pemerintah harus mampu mencerahkan organisasi keagamaan untuk tidak membingungkan masyarakat.

Ketika pemerintah tidak kukuh dengan sikapnya, maka yang terjadi semua orang merasa boleh bertindak sendiri-sendiri. Akibatnya di mata masyarakat, pemerintah menjadi semakin tidak berwibawa karena gagal untuk menyatukan semua elemen masyarakat.

Ini tentunya merupakan indikasi yang tidak baik. Bahkan lebih lanjut bisa memunculkan kesan bahwa pemerintah lemah dan mudah untuk diombang-ambingkan. Padahal demokrasi memang memberikan hak kepada setiap orang untuk berbeda, namun bukan berarti semua boleh bersikap semaunya.

Tentunya ke depan kita mengharapkan segalanya bisa berjalan jauh lebih baik. Pada akhirnya kita mengharapkan adanya ketertiban, agar negara ini bisa berjalan lebih tertata dan tidak semua boleh menggunakan kebebasannya sekadar untuk berbeda.