Minggu, 20 Februari 2011

SIRI’ DAN PENGARUHNYA DALAM MASYARAKAT

Oleh :


Drs. Anwar Sewang, M.Ag
(Sumber : Sosialisasi Siri pada Masyarakat Mandar, Penerbit Yayasan Maha Putra Mandar, 2001) 

A. Pengertian Siri’
Istilah (terminologi) siri’ dapat didekati dari sudut makna menurut bahasa namun dapat pula dicermati menurut kultural.

1. Makna Menurut Bahasa
Secara harfiah kata siri’ sistem adat di Sulawesi Selatan sepanjang pembacaan kita pada naskah-naskah lontara, sedikitnya memiliki dua makna fundamental yaitu malu dan harga diri. Seorang pemalu dinamakan tau pasiri’-siri’seng (bahasa Bugis) atau tau passiriang (bahasa Makassar) atau tau passiriang (bahasa Mandar).
Istilah siri’-siri’ bungkeng yang sangat dikenal dalam suku tertentu di Sulawesi Selatan merupakan penamaan bagi seseorang yang berada dalam keadaan sangat malu, sehingga digambarkan ibarat helai daun pinang yang berkerut karena dijemur dibawah terik sinar matahari. Hal ini juga sering digambarkan dengan sebuah keadaan dimana seseorang yang sangat ingin menikmati hidangan yang tersaji di perjamuan namun tertekan rasa malu karena merasa diperhatikan oleh tetamu yang lain.
Salah seorang pakar hukum adat Belanda BF. Matthes mengemukakan makna siri’ , sebagai berikut : 1. Beschanmmd, 2. Schoomvalling, 3. Verlegen, 4. Schaamte, 5. Eergevel, dan 6. Schande
Dalam pada itu pula laside (seorang budayawan) sebagaimana yang dikutip Laica dalam bukunya menerangkan bahwa siri’ dapat pula dikonotasikan sebagai sikap segan serta takut. Diberinya contoh ungkapan sebagai berikut :
a. Masiri’ka mewaki situdangang, nasaba engka onrotta (bahasa Bugis), artinya takut aku duduk bersama tuan, karena tuan memiliki kedudukan terpandang.
b. De’ga mumasiri’ri nabitta, nade muturusiwi penggajaranna, artinya tidakkah engkau takut kepada Nabi kita sehingga tidak mematuhi ajarannya.

2. Makna Kultural
Makna kultural kata siri’ berkaitan dengan hal yang menyangkut kahidupan budaya masyarakat suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan.
Suku-suku yang terdapat dalam lingkungan Sulawesi Selatan lebih menghayati makna kultural kata siri’ tidak dapat dipisahkan dengan kondisi kulturalnya. Dikatakan, bagi masyarakat Bugis secara umum pengertian kultural itulah yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari, karena apabila ia menyebut perkataan siri’ , maka esensi siri’ adalah dirinya sendiri.
Kamus Besar Bahasa Indonesia disumuskan entri kata siri’ dengan huruf akhir (k). tampa pembubuhan glottal stop (’) menurut makna kultural, sebagai berikut : Siri’ adalah sistem nilai sosio-kultural kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat.
Rumusan kultural yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut mengikuti defininisi (batasan) kata siri’ yang di tetapkan dalam Seminar masalah siri’ di Sulawesi Selatan yang berlangsung di Makassar pada bulan Juli 1977.
Namun dalam Kamus Bahasa Indonesia penerbitan berikutnya terdapat penambahan kata masyarakat Bugis pada perumusan entri kata sirik, sehingga rumusan kata siri’ dinyatakan sebagai berikut :
Aturan sistem nilai sosio-Kultural kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat pada masyarakat Bugis.
Penambahan kata masyarakat Bugis pada rumusan kata siri’ dapat menimbulkan kesalahpahaman, seakan-akan konsep budaya siri’ hanya terdapat di kalangan masyarakat Bugis. Siri’, selain terdapat pada masyarakat Bugis dan Makassar juga dikenal dalam konteks masyarakat Mandar dan Toraja.
Makna kultural kata siri’ baru dapat dihayati secara komprehensif manakal diamati dari sisi keberadannya sebagai sistem nilai budaya pada empat sistem adat suku yang ada di Sulawesi Selatan.
Kata siri’ tidak dengan tegas disebutkan dalam Surek Sulleang I Lagaligo namun terdapat kata siriatakka dalam manuskrip sastra Bugis kenamaan tersebut, yakni nama dua jenis tanaman yang dipandang merupakan perlambang (sennureng) terhadap kata siri’. B.F. Matthes (1874) berpendapat bahwa nama tanaman yang dilambangkan sebagai bali atakka sebagai bahasa Tobakke, yang digunakan mereka sebagai “omtezinspelen op siri, zich schamen, zijn eerkwijt zijn, enz, dewijl desiri-heester en de atakka-boom inde oudegedichten doorganstegelijk vermeld worden,zooddat de siri-huster als’t ware de neven-man van de attaka is. Nama tanaman siri atau sirih mempunyai kesamaan fonem dengan kata siri’. Penulisan kedua kata dimaksud adalah sama pula , yakni :
Salahuddin menggarisbawahi penyebutan nama tanaman siri atakka itu pada bagian episode Reulokna Batara Guru dalam Surek Selleang I Lagaligo. Dituturkan bahwa Datu Patoto To Palanroe, Dewata pencipta langit, yang bernama La Patiganna Ajik Sangkure Wira menghendaki salah seorang putranya turun ke bumi (alekawa) guna memimpin apa yang diistilakan sebagai “dunia tengah” itu. Setelah dimusyawarahkan pilihan jatuh kepada putra sulungnya yang bernama La Togelangi bergelar Batara Guru. Ketika melepas anaknya. Datuk Patoto berpesan kepadanya agar apabila ia turun ke bumi maka “…tiwiko ritu siri’ atakka narekko mattengnga lalenno nonro rilino … muadan-keng siri’ atakka ri ataunnu … ianatu matu mancaji alek ( bawalah sirih atakka … manakala engkau tengah dalam perjalanan menuruni bumi … susurkan siriatakka di bagian kananmu … itulah kelak menjadi hutan).
Menurut Salahuddin, kata alek (hutan) di sini bermakna pelindung bagi kehidupan.
Kalau kita mencari relevansi etimologi siri’ ke dalam Islam maka akan ditemukan sebuah istilah seperti haya’ dan ghirah (malu dan harga diri). Dua sifat yang tidak hanya sangat dijunjung tinggi dalam tradisi Islam akan tetapi juga diyakini sebagai bagian terpenting dari struktur keimanan seorang Muslim. Sehingga sering kali ditegaskan bahwa konsep siri’ dalam tradisi adat Sulawesi Selatan adalah sumber inspirasi dan inti dari bangunan kebudayaan mereka yang bersifat Islami.
Seperti telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya bahwa di Sulawesi Selatan telah pernah diadakan seminar masalah siri’ yakni tepatnya pada tanggal 11 sampai 13 Juli1977, diselenggarakan oleh Komando Daerah Kepolisian (KODAK) XVIII Sulawesi Selatan dan Tenggara dengan bekerja sama Universitas Hasanuddin. Seminar diadakan di Makassar (Ujung Pandang) serta diikuti antara lain oleh para aparat pemerintahan, cendekiawan, tokoh-tokoh masyarakat dan wakil pelbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia. 
Pada seminar nasional ini, telah dibicarakan dan dibahas bersama konsep siri’ dari sudut pandang pelbagai buday suku bangsa di Sulawesi Selatan serta perkaitannya terhadap pembangunan nasional, dengan menampilkan sejumlah makalah berkenaan dengan siri’. 
Seminar ini pula meletakkan batasan umum bagi pengertian siri’ sebagai berikut :
a. Siri’ dalam sistem budaya, adalah pranata pertahanan harga diri kesusilaan dan hkum serta agama sebagai salah satu nilai utama yang mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran dan perasaan dan kemauan manusia. Sebagai konsep budaya ia berkedudukan regulator dalam mendinamisasi fungsi-fungsi struktural dalam kebudayaan.
b. Siri’ dalam sistem sosial, adalah mendinamisasi keseimbangan eksistensi hubungan individu dan masyarakat untuk menjaga kesinambungan kekerabatan sebagai dinamika sosial, terbuka untuk beralih peran (bertransmisi), beralih bentuk (bertransformasi), dan dapat ditafsir ulang (reinterpretasi) sesuai perkembangan kebudayaan nasional sehingga siri’ dapat ikut memperkokoh tegaknya falsafah bangsa Indonesia, Pancasila.
c. Siri’ dalam sistem kepribadian, adalah sebagai perwujudan kongkrit di dalam akal budi manusia yang menjunjung tinggi kejujuran, keseimbangan untuk menjaga harkat dan martabat manusia.

 
B. Pandangan Masyarakat Terhadap Siri’
Terdapat pandangan yang memandang siri’ sebagai pancangan nilai dalam kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan Bagi pakar budaya misalnya A. Rahman Rahim yang mengemukakan bahwa siri’ adalah sala satu nilai utama kebudayaan masyarakat. Beliau juga kemudian mengklarifikasi nilai itu kedalam dua golongan besar yaitu nilai primer yang dibahasakan sebagai nilai utama dan nilai sekunder yang diasumsikan sebagai nilai yang tidak utama. Rahman Rahim mengacu pada pendapat SH. Alatas yang menyatakan bahwa nilai yang tidak berubah adalah nilai yang mengandung kemutlakan, yakni sifat tertentu yang harus melekat pada nilai utama. Kata mutlak di sini yang melekat pada pengertian nilai utama ditandainya dengan hal berlakunya suatu kebenaran yang tidak di batasi oleh faktor-faktor yang umumnya mempengaruhi sesuatu sifat yang dianggap benar atau baik menurut waktu dan tempat. Nilai yang tidak utama bersifat nisbi (relatif) yang dibatasi oleh waktu dan tempat.
A. Rahman Rahim selanjutnya mengemukakan enem nilai utama kebudayaan masyarakat sulawesi selatan yakni apa yang dalam tradisi masyarakat bugis dikenal dengan lempu’ (kejujuran), ammacang atau acca (kecendekiawanan), asitenajang (kepatutan), getteng (keteguhan), reso (keuletan) serta siri. Dikatakan bahwa masalah siri’ selalu menerik perhatian mereka yang hendak mengenal manusia dan kebudayaan khas sulawesi Selatan karena konsep siri’ selalu dihayati oleh orang-orang yang berpegang teguh pada ade’ serta sistim Pengadereng. Seseorang yang tidak memeliki siri’ adalah lepas dari konteks moralitas ade’ serta kesepakatan adat. Orang yang telanjang dari perasaan malu atau siri’ akan memberikan ruang gerak yang luas bagi lahirnya tindakan-tindakan anarkis dan tidak bertanggung jawab dalam hal ini di dala lontara orang ini dapat disejajarkan dengan binatang. Konsep ini tentunya seirama dengan Islam tentang kesetaraan manusia dengan binatang ketika mereka bertindak melampaui batas.
CH. Salam Basjah dan Sdappernas Mustaring sebagaimana yang dikutip Mattulada dalam Latoa Memberikan tiga penggolongan terhadap siri’ yaitu :
a. Siri’ itu sama artinya dengan malu, isin (jawa), shame (inggris);
b. Siri’ merupakn daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap apa atau apa saja yang menyinggung perasaan mereka. Hal ini merupakan kewajiban adat yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukum menurut norma-norma adat jika tidak dilaksanakan.
c. Siri’ itu sebagai daya pendorong yang bisa juga ditujukan ke arah pembangkit tenaga untuk membanting tulang, bekerja mati-matian, demi suatu pekerjaan atau usaha.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa siri’ merupakan pembalasan yang berimplikasi kewajiban moril untuk membunuh pihak pelanggar adat. Demikian pula M.Natsir Said, menempatkan batasan bahwa siri’ itu adalah perasaan malu (kreking/beledeging) yang dapat menimbulkan sanksi dari keluarga yang dilangggar norma adatnya.
Dapat ditarik sebuah benang merah bahwa untuk mendekati batasan siri’ itu tidak mungkin orang hanya memandang satu aspeknya saja atau hanya memperhatikan perwujudannya saja. Hal ini mudah dimengerti karena siri’ adalah suatu hal yang abstrak dan hanya akibat kongkritnya saja yang dapat diamati dan diobservasi. Dalam kenyataan sosial, kita dapat mengobservasi orang-orang bugis yang cepat merasa tersinggung, lekas menggunakan kekerasan dan balas dendam dengan pembunuhan. Hal ini memang banyak terjadi terutama dalam hal perjodohan , yaitu salah satu pranata sosial atau salah satu aspek dalam pangngadereng yang masih dapat bertahan, dibanding dengan unsur-unsur lainnya walaupun sekarang dari hari ke hari telah mengalami banyak perubahan. Namun demikian siri’ masih mempunyai arti yang esensial untuk dipahami, karena terdapatnya anggapan bahwa orang Sulawesi Selatan pada umumnya ia masih merupakan sesuatu yang melekat kepada martabat kehadirannya sebagai suatu pribadi dan sebagai warga dari suatu persekutuan. Masyarakat Sulawesi Selatan menghayati siri’ itu sebagai suatu panggilan yang dalam dari diri pribadinya, untuk mempertahankan suatu nilai yang dihormatinya. Sesuatu yang dihormati, dihargai dan dimilikinya mempunyai arti esensial baik bagi diri maupun bagi persekutuannya.
Berbagai ungkapan dalam bahasa khas Bugis (Sulawesi Selatan) yang mengambil wujud dalam kesusastraan, pesan amanah-amanah dari leluhurnya yang dapat dijadikan petunjuk tentang siri’ itu pada masyarakat Sulawsi Selatan.
a. Siri’e mi ri onroang ri lino. Artinya hanya siri’ itu sajalah kita hidup di dunia. Dalam ungkapan ini, termaktub arti siri’ sebagai hal yang memberi identitas sosial dan martabat kepada seseorang. Hanya kalau ada martabat atau harga diri hidup ada artinya.
b. Mate ri siri’ na. Artinya mati dalam siri’ yakni mati demi menegakkan martabat atau harga diri. Mati yang demikian dianggap sebagai suatu hal yang terpuji dan terhormat.
c. Mate siri’. Artinya orang yang sudah hilang harga dirinya dan tidak lebih dari bagkai hidup. Orang Sulawesi Selatan yang merasa mati siri’ akan melakukan jallo’ (amuk), hingga ia mati sendiri. Jallo’ yang demikian disebut napattatongi siri’na artinya ditegakkan kembali harga dirinya. Banyak terjadi dalam masyarakat Sulawesi Selatan baik di daerah-daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan terpencil peristiwa bunuh-membunuh dengan jallo’ dengan latar belakang siri’. Secara lahiriyah sering tampak seolah-olah orang yang masuk dalam kategori tersebut yang merasakan siri’ yang sanggup membunuh atau dibunuh, memperbuat sesuatu yang fatal karena alasan-alasan sepele atau karena masalah permpuan yang sesungguhnya harus dipandang biasa-biasa saja. Akan tetapi pada hakekatnya apa yang kelihatan oleh orang luar sebagai hal yang sepele dan biasa bagi kelompk masyarakat tertentu sesungguhnya hanya merupakan salah satu alasan lahiriyah saja dari suatu kompleksitas sebab-sebab lain yang menjadikan ia merasa kehilangan harga diri yang juga menjadi identitas sosialnya.
Masalah siri’ seperti banyak dipahami masyarakat mempunyai banyak segi-segi, sehingga ada kalanya ia di beri isi dan tanggapan sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, sesuatu yang sangat emosional seperti di tafsirkan oleh banyak orang yang menyamakannya dengan perasaan malu dan kebanyakan lagi di identikkan dengan masalah pelanggaran adat perkawinan misalnya kawin lari atau semacamnya. Hakekat siri’ hendaknya dilihat dari segi aspek nilai dari pangngedereng sebagai wujud kebudayaan yang menyangkut martabat dan harga diri manusia dalam lingkungan hidup kemasyarakatan. Nilai-nilai pangngedereng yang amat dijunjung tinggi masyarakat Sulawesi Selatan yang dapat membawa kepada peristiwa siri’ yang tersimpul pada hal-hal tersebut dibawah ini :
a Sangat memuliakan hal-hal yang menyangkut kepercayaan (keagamaan)
b Sangat setia memegang amanah (paseng) atau janji (ulu-ade’) yang telah di buatnya
c Sangat setia kepada Persahabatan
d Sangat mudah melibatkan diri pada persoalan orang lain (memiliki kepedulian sosial terhadap sesame.
e Sangat memelihara akan ketertiban adat kawin-mawin (wari).
Lima elemen tersebut disaring dari lima aspek pangngedereng yaitu ade’, bicara rapang, wari” dan sara’. Itulah yang paling banyak menimbulkan ekses-ekses berupa pembunuhan, jallo’, pemberontakan, pembangkangan dan meninggalkan negerinya dengan dimotori oleh semangat siri’.
Jadi adalah lumrah apabila jallo’, pembunuhan, pemberontakan, atau sejenisnya yang dilakukan baik secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok, itu hendaknya diperiksa motifnya pada konsep siri’ yang mereka anut. Apabila motif peristiwa dilatarbelakangi oleh siri’ maka pemulihannya dapat dirintis melalui nilai-nilai pangnhedereng juga.
Latoa berkata :
“ ada empat hal yang memperbaiki kekeluargaan yaitu ; pertama, kasih saying dalam keluarga, kedua, saling memaafkan secara kekal, ketiga, tidak segan memberi pertolongan dan pengorbanan demi keluhuran, keempat, mengingatkan untuk berbuat kebajikan”.
Pada kesempatan lain ahli-ahli lontara berkata :
bukankah yang demikian berarti bahwa ade’ ada buat kasih sayang, bicara ada buat saling memaafkan, rapang ada buat saling memberi pengorbanan demi keluhuran dan wari’ ada buat mengingatkan kepada perbuatan kebajikan”.
Dengan demikian tujuan hidup menurut pangngadereng tidak lain adalah untuk melaksanakan fitrah manusia guna mencapai martabatnya yakni siri’. Bila pangngadereng dengan segala aspeknya tidak ada lagi, akan terhapuslah fitrah manusia, hilanglah siri’ dan hidup tidak lagi artinya menurut orang Bugis. Jadi jawaban yang paling kena terhadap pertanyaan mengapa orang Bugis taat kepada pangngadereng ialah karena siri’.

C. Pengaruh Siri’ dalam Masyarakat
Sejak ledakan reformasi menjadi fenomena dominan bangsa ini, tiba-tiba saja wacana-wacana klasik kembali menyeruak ke permukaan dan mengambil tempat cukup urgent untuk dijadikan objek kajian. Wacana-wacana klasik tersebut tidak lain adalah konsep siri’ itu sendiri beserta unsur-unsur yang menyertainya. Betapa tidak, hal ini jelas menjadi dominan dibicarakan mengingat sekian banyak kasus siri’ (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) yang melibatkan tidak sedikit orang Bugis (Sulawesi Selatan) yang secara kultural sangat peka terhadap Persoalan-persoalan yang menyinggung harga diri dan membangkitkan perasaan primordial untuk tidak menyebut arogansi siri’ kedaerahan yang telah lama subur dan berakar di Sulawesi Selatan.
Dalam konteks makro Indonesia di luar Sulawesi Selatan sesungguhnya terdapat konsep yang sama menyangkut siri’ yang banyak dianut oleh suku-suku tertentu, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Widodo Widodarmo bahwa “… siri’ yang identik dengan perasaan malu terdapat juga pada suku jawa dengan istilah Wirang, pantang untuk orang, jenga untuk orang Bali dan sebagainya.
Konsep yang dikenal oleh mayoritas suku jawa yang meliputi kurang lebih 60 juta jiwa, menyimpan pula esensi nilai-nilai malu serta harga diri (martabat). Kata wirang atau awirang berarti malu melakukan. konsep ini juga ditemukan dalam karya proses jawa klasik, misalnya dapat dibaca dalam kitab Adipurwa, bagian pertama Wiracarita Mahabarata, yang ditulis pada Zaman Dharmawangsa di kala abad X, atau awal abad XI.
Istilah wirang dapat pula dibaca dalam karya proses jawa klasik lainnya, misalnya dalam Serat Sritanjung, kitab Calon Arang serta Babad Tanah Jawi.
Jika ditelaah secara mendalam pengaruh yang paling dominan mewarnai masyarakat yang menganut paham siri’ seperti di daerah yang disebut terkhusus dalam wilayah Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar, Mandar dan Toraja) dapat dirinci sebagaimana berikut:
1. Meningkatkan tingkat kedisiplinan. Disiplin adalah harkat, martabat dan harga diri. Dia merupakan refleksi dari ketinggian siri’. Menegakkan disiplin baik terhadap orang lain maupun terhadap diri dan keluarga, sesuai dengan fungsi dan peranan yang harus diemban sama dengan menjaga harkat, martabat dan harga diri. Berarti kita telah menunjukkan diri sebagai seorang yang mempunyai siri’. Siri’ pada dasarnya tolok ukur tentang harkat dan martabat. Tolok ukur keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara tanggung jawab dan kepatuhan. Seorang yang mestinya bertugas dan berwenang meluruskan yang bengkok, tapi tidak dapat dan tidak berani melakukannya berarti siri’ orang tersebut telah memudar. Demikian juga apabila seseorang membiarkan hak pribadinya dilanggar dan diinjak-injak di luar batas-batas hukum dan etika ini berarti siri’ yang bersangkutan telah menurun (berkurang).
2. Siri’ itulah yang mendorong keberanian dan ketegaran para pemimpin Appeq Banua Kaiyang sebagai wakil rakyat, untuk secara tegas menentang keputusan Daeng Mallariq. Siri’ itu pulalah yang menyebabkan Appeq. Banua Kaiyang memecat Daeng Riosok, siri’ itu pulalah yang menyebabkan semua raja Mandar mendukung Pammarica untuk menolak permintaan Gubernur Belanda. Hal ini pulalah yang mendorong Puang Cadia untuk secara tegas tanpa ragu-ragu merelakan I Kauseng, anak kandungnya menjalani hukuman mati. Apabila fungsionaris kerajaan itu tidak berani menjalankan peraturan yang berlaku karena takut pada raja, atau karena melindungi karena memihak pada keluarga sendiri, berarti mereka itu bukanlah orang yang bermartabat dan berharkat tinggi. Berarti harga diri telah memudar, berarti siri’nya telah mengalami erosi. Dengan demikian ia tidak patut lagi menduduki fungsi dan jabatannya itu, karena jabatan tersebut hanya diperuntukkan bagi mereka yang bermartabat dan berharkat tinggi.
Kearifan budaya Mandar yang berkaitan dengan ihwal disiplin di atas merupakan indikasi besarnya potensi budaya yang masih terpendam di berbagai daerah. Budaya tersebut memiliki kemampuan untuk menyodorkan tawaran-tawaran peranan, baik dalam ikut memecahkan issu pembangunan dewasa ini, maupun dalam merumuskan visi kebijaksanaan di masa datang yang dapat mewujudkan disiplin nasional.
Mewujudkan disiplin nasional, sasarannya tentu saja bukan sekedar menimpa ketaatan dan kepatuhan berdasarkan proses conditioning yang bersifat paksaan. Baik paksaan karena kekuatan maupun paksaan karena hukum. Akan tetapi sasaran yang paling ideal adalah menjadikan disiplin menjadi mental blue print. sehingga pola tingkah laku yang berstandarisasi, sehingga disiplin telah menjelma sebagai suatu unsur budaya yang hidup dan berfungsi, baik dalam wujud fungsi manifest maupun fungsi latent.
Studi kasus tentang segi budaya kearifan di kerajaan Balanipa-Mandar seperti dipaparkan pada bab terdahulu, memberikan gambaran adanya budaya disiplin dalam kehidupan masyarakat dan dalam lingkungan penyelenggaraan pemerintah Balanipa. Budaya disiplin ini mampu mewujudkan fungsi manifestnya dalam bentuk ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan dan pengaturan. Kemampuan mewujudkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan penegak hukum. Karena disiplin telah menjadi rambu-rambu dalam memandu bangsa dan negara. Dapat menimbulkan dampak psikologis terhadap setiap anggota masyarakat yang berupa tumbuh rasa berdosa (disiplin religious), rasa malu (disiplin sosial), gelisah dan tidak tentram karena menganggap bahwa awal disiplin berkaitan dengan harga diri, harkat dan martabat (disiplin affeltif).
Kearifan budaya Mandar memberi isyarat bahwa metode dan cara yang ideal, ialah metode sosialisasi melalui proses belajar simbolik. Hal ini sejalan dengan pendapat Loving Hallowel yang menjelaskan, “Transmisi Kebudayaan dilihat secara kenyataan, tidak boleh dipandang sebagai kemampuan yang diproleh melalui proses conditioning seperti sering kali ditemukan dalam deskripsi etnografi, melainkan sebagai dari proses belajar simbolik.
Proses perwujudan disiplin dalam kehidupan Balanipa Mandar, nampaknya diramu dalam beberapa langkah sebagai berikut :
a. Pemantapan pola peranan-peranan dalam bentuk pengaturan formasi lembaga kekuasaan yang efektif, seimbang, serasi dan saling berinteraksi perwujudannya adalah adanya Lembaga Kekuasaan eksekutif dan yudikatif yang berwibawa, dan adanya lembaga pengawasan yang mampu mengendalikan jalannya pelaksanaan kekuasaan.
b. Penciptaan iklim sosial yang segar yang mampu memberikan suasana kepercayaan dan kesadaran masyarakat tentang adanya kepastian hukum.
c. Memantapkan kepercayaan kepada hukum.
d. Timbulnya keteladanan yang sangat mutlak diperlukan di era globalisasi sekarang ini.
e. Adanya sistem nilai etika dan norma yang dapat menjadi pijakan dasar tegak tumbuhnya budaya disiplin. Siri’ ternyata telah mampu menjadi akar tunggang berdirinya disiplin, seperti terlihat dalam budaya Mandar dan budaya Sulawesi Selatan pada umumnya.
3. Nilai Lokko’ sebagai Daya Saring Positif (Perisai)
Sebagaimana dimaklumi di dalam Kongres Kebudayaan Mandar tahun 1991 antara lain dibicarakan mengenai peranan daya cipta dalam pengembangan kebudayaan. Proses yang dimaksud akan terjadi interaktif berkesinambungan yang di dalamnya terdapat daya cipta yang memegang peranan penting.
Daya cipta yang penulis maksudkan telah hadir dan telah mempengaruhi kebribadian setiap anak bangsa yakni sistem budaya lokko’ itu sendiri yang secara psikoanalisis dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Budaya siri’ memberikan dorongan secara sadar lahirnya reaksi-reaksi terhadap kekuatan tertentu yang negatif. Jadi meletakkan kondisi tertentu terhadap jiwa seseorang (pola pikir), budaya siri’ merupakan perangsang untuk bertindak positif dan hati-hati.
b. Budaya siri’ sebagai bagian dari secara keseluruhan sistem budaya global mengenai mekanisme reward and punishment, hal ini dengan sendirinya disamping sebagai “perisai” juga akan memberikan Konsekwensi logis (hukuman) terhadap kelakuan yang bertentangan atau mengusik ketentraman suatu masyarakat.
c. Budaya siri’ dapat dijadikan modal dasar memasuki proses belajar terutama dalam upaya memperkaya kepribadian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar