Kamis, 11 Oktober 2012

Kembali Ke Etos Budaya

Todilaling atau I Manyambungi merupakan kepala pemerintahan Kerajaan Balanipa Mara’dia. Mulai pertama memerintah sekitar tahun 1440. I Manyambungi pertama-tama meletakkan dasar-dasar sitem budaya politik kepada rakyat kecil. Beliau mengatur Formasi dan pengelompokan peranan-peranan yang saling berintraksi. Pengaturan peranan dan pengelompokan tersebut menempatkan kerajaan analog dengan sebuah perahu “ ana’ kodzai mara’dia banua kaiyangngi toilopi” raja adalah pemegang kekuasaan ekskutif tertinggi di bantu oleh mara’dia matoa dan anggota ada’. Akan tetapi banua kaiyang yang terdiri dari Napo, Samasundu, Mosso dan Todang-todang, yang dibantu 12 orang banua, sebagai perwakilan seluruh rakyat, memegang kekuasaan pengawasan. Banua kaiyang berhak mengangkat dan menurunkan raja. Ketetapan banua kaiyang ini bersifat mutlak tak dapat di ganggu gugat, seperti yang di rumuskan dalam hukum adat “ laweangi tandi wali, mappaui tandi simbong” ( berucap tak tersanggah. Penetapannya tak terbantah). Prinsip-prinsip dasar yang harus menjadi acuan raja dan puang Dirano sebagai Pappuangan Napo yang juga merangkap sebagai pemimpin banua kaiyang ( baca: pemimpin lembaga perwakilan) di tuangkan dalam stateman politik yang antar lain berbunyi sebagai berikut (penegasan puang Dirano) “upakaingo,upakaraya, marondong duambongi anna : a.mara’ba ra’bao petawung (tuan merusak pematang) b. mambotu bottuo bassi’ ( tuan memotong genting pelurus) c.marattassoo uwake ( tuan memotong akar kehidupan dan akar orang banyak) d. marappao batu-batu (tuan telah memecah batu kecil, menindas orang kecil) e.marussao alewuang ( tuan merusak kesatuan dan persatuan) f.mambu’eo alewuang.(tuan meninggalkan janji kesepakatan).

Cerminan yang dapat diambil dari peristiwa ini bahwa nilai-nilai luhur budaya yang telah di wariskan oleh para leluhur tidak mengenal kata angkuh, sombong, mementikang diri sendiri, berat tangan, tidak menghargai, pemalas, tidak percaya diri, tidak bercerai berai, ketergantungan, tidak santun dan tidak sopan. Malahan sebaliknya leluhur Mandar mencerminkan keramahan, sopan dan santun, suka menolong, ringan tangan, rajin bekerja, toleran, solidaritas, familier, kekerabatan dan keluargaan yang tinggi jujur dan tulus ikhlas. Tak heran kalau puang sodo pernah mengungkapkan “ mua’ ditami balimbungannna azda, tuomi tau tammate, mapia takkazdae, apa metturundungi tau di barimbing, mettullung diropo uwe, mua tadami tau lao di olona andenami tau bicaran na, issinna parabue’na,apa nayya azda, takkeanai, takkeappoi, tammariwai tammakaleppei, tale napilletei diwatang makambu, tale namipasenderi di ayumate” ( apabila kita telah melihat rumahnya adat, berarti kematian telah terhindar, kebaikan menyongsong, keburukan terkikis, karena kita bernaung di bawah pohon rindang, dan lebatnya rumpung rotan. Apabila kita berada di hadapan adat maka kita menyerahkan diri untuk menjadi bahan persidangannya, dan isi ketetapannya,karena seorang adat tak bakal mementingkan anak, tak mengutakan cucu, tak bakal ada di pangku, tak ada bakal di momong, tak akan menitikan pada jembatan kayu sudah lapuk, tak bakal bersandar pada dahan yang telah mati).

Pertanyaannya sekarang masihkah ungkapan Puang Sodo itu tercermin dalam masyarakat kita,dalam pemerintah kita dan proses kepemimpinan kita di Indonesia dan tanah Mandar ( Sulawesi Barat) pada khususnya? Kitalah yang akan menilai itu dan merasakannya?

Memudarnya penghayatan dan mengalaman nilai-nilai budaya mengakibatkan negeri kian terpuruk dalam segala bidang kehidupan baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, Kondisi ini melanda pada setiap tataran mulai dari tataran kepemimpinan tingkat bawah sampai pada tingkat atas, masyarakat selalu merasa tak aman, tidak percaya atas keputusan keputusan pemerintah. Dalam ranah hukum masyakat kecil selalu di titikan pada jembatan yang lapuk dan di sandarkan pada kayu yang telah meranggas.

Kemajuan dan keunggulan sangat di tentukan oleh karakter bangsanya. Sehubungan dengan itu program pemndidikan karakter bangsa tidak dapat di tawar menawar lagi. Bangsa yang sudah luntur karakter/ budi pengerti aslinya kehilangan jati dirinya akan terus menerus dalam keterpurukan. Bila ini terus menerus terjadi maka, kewaspadaan Mahatma Ghandi tetang tujuh dosa yang mematikan bisa menjadi kenyataan di negeri tercinta ini pada umumnya dan di Sulewesi Barat pada khususnya. Tujuh dosa itu yakni merebahnya nilai-nilai dan perilaku “kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati nurani, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa moralitas, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, agama tanpa pengorbanan, politik tanpa prinsip.

Sejarah telah membuktikan bahwa Mandar telah memiliki karakter/budi pengerti yang kuat yang telah diwariskan oleh para pendahulu seperti Todilaling, To Mepayung, Puang Sodo, Puang Chazdia, dan yang paling muda yang paham tetang karakter dalam ranah Hukum adalah Prof. Baharuddin Lopa dll. Karakter kuat dan unggul dari pendahulu ini tampaknya terabaikan, terlunturkan karena pengaruh globalisasi yang kuat. Padahal Karena arus globalisasi yang kuat ini seharusnya karakter/budi pengerti harus lebih kuat pula supaya tidak terbawah arus globalisasi itu. Penyimpangan-penyimpangan yang belaku seperti korupsi, money politik, komplik social dan politik, saling mencela, saling sikat, merasa diri yang paling benar dan layak jadi pemenang, pemerkosaan dan pembunuhan adalah perilaku yang menyimpang etika moral yang merupakan tanda-tanda, melemahnya karkter /budipengerti anak negeri.

Memperhatikan penyimpangan-penyimpangan di atas, maka pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh pemuda, sudah waktunya memerankan ketokohannya, untuk membangun karakter bila tidak, jangan maharap Sulawesi barat akan sampai pada iconnya “mala’bi”. Pertanyaannya kemudian bagaiman membangun kembali karakter Mandar yang sudah hampir kabur ini? Para pendahulu kita telah menanamkan etos budaya yang di sebut “siri’”.

Siri’ yang pada dasarnya adalah tolak ukur tentang harkat,martabat dan harga diri, keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara tanggung jawab dan kepatuhan, seseorang yang bertugas dan berwenang meluruskan yang bengkok, tetapi tidak dapat dan tidak berani melakukannya , berarti siri’ orang tersebut telah pudar. Demikian juga apabila seseorang membiarkan hak pribadinya di langgar dan di injak-injak di luar hukum etika dan norma kebiasaan, juga berarti, Siri’ atau harkat dan martabat orang tersebut telah pudar. Para guru Dosen yang tidak masuk mengajar pada jadwal dengan alasan yang tidak jelas patut di pertanyan tentang siri’, dan pemuda yang hanya mampu memperbincangkan kejelekan orang lain juga patut di pertanyakan tentang siri’nya.

Sebab dengan siri’ itulah yang mendorong keberanian dan ketegaran para pemimpin appe banua kayyang menurunkan Daeng Rioso’ dari Raja. Siri’ itu pulalah yng mendorong Raja Mandar mendukung Pammarica, untuk menolak permintaan Gubernur Belanda, serta Siri’ pulalah yang mendorong puang Cazdia untuk secara tegas tanpa ragu-ragu merelakan I Ka’useng, anak kandungnya sendiri menajalani hukuman mati di pangkuannya. Husni jamaluddin mengemukakan pandangannya tentang siri’ dalam sebuah seminar bahwa siri’ adalah surat izin untuk berada di atas tanah. Orang tidak ada siri’nya tidak punya izin tinggal diatas tanah. Di bawah tanah saja. Dan ini budaya Mandar.

Untuk mewujudkan Sulawesi Barat yang Bala’bi mulai sekarang kita kembali kepada etos budaya siri’ dengan menanamkan dalam diri kita sebagai pijakan awal pesan To dilaling “ inna ri tia sobai totondo zdaimu, pakarayai sipattummu, sayangngi totondo naungmu” ( yang lebih baik adalah ta’atai atasanmu, hargai rekan rekan sejawatmu, sayangi bahawanmu”
Sumber : http://cafebacaasyariah.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar