Asal Mula Suku Mandar
Kata Mandar memiliki tiga arti : (1)
Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat
menguatkan; penyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya
menjadi Mandar; (2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti
sungai, dan (3) Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra
yang dalam perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi
Mandar yang berarti tempat yang jarang penduduknya. Penulis makala ini,
setelah mengajukan berbagai pertimbangan penetapan pilihan pada butir
kedua, yaitu “mandar” yang berarti “sungai” dalam penuturan penduduk
Balanipa. Tampaknya menyebutan itu tidak berpengaruh terhadap penamaan
sungai sehingga sungai yang terdapat de daerah itu sendiri disebut
Sungai Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah sungai lain di
daerah Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai: Campalagiang, Karama,
Lumu, Buding-Buding, dan Lariang.
Selain
itu, dalam buku dari H. Saharuddin, dijumpai keterangan tentang asal
kata Mandar yang berbeda. Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan
dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar yang
berarti “Cahaya”; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata
mandag yang berarti “Kuat”; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa
penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di
pusat bekas Kerajaan Balanipa (Saharuddin, 1985:3). Sungai itu kini
lebih dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian tampak
penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan
(digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada
adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa,
sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan
Sungai Mandar.
Demografi (Lokasi Lingkungan Alam)
Gambaran
tentang nama Mandar ini cukup membingungkan, apabila direnungkan tanpa
referensi. Karena itu dapat memberikan kecerahan menyangkut penamaan
itu, saya ingin mengajak untuk berpaling pada latar kesejarahan. Saya
berharap dengan mencoba menelusuri Keterangan-keterangan Kesejahteraan,
kita dapat mengambil kesimpulan yang beralasan tentang penamaan itu.
Kota Mandar secara geografis tidak
sebatas dengan wilayah keresidenan (Kabupaten) Polewali atau Majene,
atau mungkin tidak sebatas kedua wilayah ini secara simultan, melainkan
seluas wilayah yang diperjuangkan menjadi Provinsi Sulawesi Barat
(Provinsi Sulbar). Dengan kata lain, dalam konteks geografis dan bukan
konteks kultural, istilah Mandar mencakup seluruh wilayah sulbar.
Mungkin juga bisah diterima bahwa secara kultural dan terbatas, Mandar
mencakup masyarakat Polewali, Majene, dan Mamuju. Jadi ada Mandar
Polewali, ada Mandar Majene, dan ada Mandar Mamuju. Karena itu, Mandar,
dalam Konteks Kultural, lebih sempit dari pada mandar dalam jangkauan
makna geografis. Dalam konteks geografis, Provinsi Sulbar tidak hanya
dihuni oleh masyarakat Mandar Polewali, Mandar Majene, dan masyarakat
Mandar Mamuju, melainkan juga oleh masyarakat suku Toraja di Kabupaten
Mamasa.
Wilayah Mandar terletak di ujung utara Sulawesi Selatan tepatnya di Sulawesi Barat dengan letak geografis antara 1o-3o Lintang Selatan dan antara 118o-119o Bujur Timur.
Luas wilayah Mandar adalah 23.539,40 Km2, terurai dengan :
- Luas Kab.Mamuju dan Mamuju Utara : 11.622.40 Km2
- Luas Kabupaten Majene : 1.932.00 Km2
- Luas Kabupaten Polewali Mamasa : 9.985.00 Km2
Jadi luas Kabupaten Polewali sendiri : 9.985.00 Km2
Dikurangi luas Kabupaten Mamasa sekarang : Km2
Nilai Budaya atau Kesenian
Tanpa
hasil penelitian mendalam dan meluas atau tanpa membaca serta menyimak
seluruh hasil penelitiantentang seni dan budaya Mandar, mustahil dapat
dilahirkan karya tulis
yang memadai. Namun, dalam batas makala pengantar diskusi atau makala
pemicu, catatan ini diharapkan dapat diterima sebagai umpan pancingan
untuk memancing hal-hal lain dalam kaitan dengan tema pertemuan.
Beberapa cabang seni Mandar dapat dikemukakan disini hanya semata-mata
sebagai sample dari sekian banyaknya jenis seni milik masyarakat secara
turun-temurun. Masihkah masyarakat Mandar ingin menghiduokan kembali
nilai-nilai utama, yang tetap relevan menembus saman dengan berbagai
tantangan baru, sebelum di berdayakan. Tanpa budaya yang sudah berdaya,
mustahil bisa diberdayakan. Buadaya tanpa daya tak bisa di berdayakan.
Lebih parah lagi budaya yang belum berdaya hendak di berdayakan oleh
manusia yang tercabut dari akar budayanya sendiri atau oleh masyarakat
yang kurang secara kultural.
Irama
musik
dalam lagu-lagu mandar secara spesifik mencerminkan setting laut.
Deburan ombak, riak gelombang yang dinamis, hempasan ombak dipantai dan
geliat ombak gelombang yang diterbangin angin lembut atau badai bisa
dirasakan pada melodi laut di dalam lagu-lagu Mandar yang cenderung
eksotik, romantis, dan sentimentil. Lagu-lagu Mandar sering dan
selincah lagu-lagu Maluku, namun sekaligus selembut irama agraris
lagu-lagu Bugis meski tidak sedinamis lagu-lagu Makassar yang terkesan
agak cepat dan kekurangan kelembutan. Bandingkan lagu “Tengga Tengga
Lopi” dengan “Baturate Maribulang”.
Tari-tarian
mandar sebagaimana tari lain di daerah Sulsel pada mulanya berawal dari
istana. Namun, tari-tarian yang difungsikan sebagai bagian ritual dari
kerajaan akhirnya menjadi tari rakyat yang bukan hanya bertujuan
memberikan rasa hormat pada raja sebagai representasi dari dewata,
melainkan menjadi tari rakyat yang memberi hiburan yang sehat.
Tari
“Patadu” menampakkan suasana langit-bumi yang menyatu dalam gerak kaki
para penari yang tak terlepas dari bumi, dan pada saat yang sama
pasangan tangan mereka menari-nari bukan tanpa kebebasan, namun
kebebasan dengan kendali nilai budaya oleh gerakan yang menandakan
adanya aturan yang harus ditaati. Musik yang menggebu-gebu tak mampu
memancing emosi para penari untuk ikut-ikutan bergoyang menurut irama
gendang. Para penari terkesan menari secara lemah lembut menantang
iramagendang yang penuh dengan geliat yang dinamis. Hal yang sama bisa
ditemukan pada tari “Pakarena” di dalam seni tari Bugis-Makassar
Bahasa
Seperti
suku-suku atau etnis lainnya yang ada pada suatu bangsa termasuk yang
ada di Indonesia, dipahami bahwa bahasa merupakan identitas yang
menunjukkan suatu bangsa, etnis atau suku tersebut. Tak pelak Mandar
sebagai sebuah etnis atau bahkan yang lebih besar dari itu, sebuah suku
bangsa juga berlaku hal yang serupa. Artinya Mandar juga dapat dipahami
dan dimengerti bahkan dikenal melalui bahasanya.
Konon
masih sama dengan etnis lainnya di Indonesia, bahasa Mandar juga
berasal dari rumpun bahasa Malayu Polinesia atau bahasa Nusantara atau
yang lebih acap disebut sebagai bahasa ibunya orang Indonesia. Oleh
Esser (1938) disebutkan, seperti yag dikutip Abdul Muttalib dkk (1992),
bahwa mandfarsche dialecten yang awal penggunaannya berangkat dari
daerah Binuang bagian utara Polewali hingga wilayah Mamuju Utara daerah
Karossa.
Walau hingga kini tidak
jelas benar sejak kapan penggunaan bahasa Mandar dalam keseharian orang
Mandar. Namun dapat diduga, bahwa penggunaan bahasa Mandar sendiri
bersamaan lahirnya orang atau manusia pertama yang ada di tanah Mandar.
Hal yang lalu dapat dijadikan rujukan adalah adanya bahasa Mandar yang
telah digunakan dalam lontar Mandar sekitar abad ke-15 M. Ibrahim Abas
(1999).
Sehingga kuat dugaan bahwa
bahasa yang digunakan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan masa lalu
di daerah Mandar telah menggunakan bahasa Mandar, yang untuk itu dapat
dicermati dalam beberapa lontar yang terbit pada masa-masa pemerintahan
kerajaan Mandar.
Sedang menilik area
penyebaran bahasa Mandar sendiri, hingga kini masih dengan mudah bisa
di temui penggunaannya di beberapa daerah di Mandar seperti, Polmas,
Mamasa, Majene, Mamuju dan Mamuju Utara. Kendati demikian di beberapa
tempat atau daerah di Mandar juga telah menggunakan bahasa lain,
seperti untuk Polmas di daerah Polewali juga dapat ditemui penggunaan
bahasa Bugis, sebagai bahasa Ibu dari etnis Bugis yang berdiam dan
telah menjadi to Mandar (orang Mandar-pen) di wilayah Mandar. Begitu
pula di Mamasa, menggunakan bahasa Mamasa, sebagai bahasa mereka yang
memang di dalamnya banyak ditemui perbedaannya dengan bahasa Mandar.
Sementara di daerah Wonomulyo, juga dapat difemui banyak masyarakat
yang menggunakan bahasa Jawa, utamanya etnis Jawa yang tinggal dan juga
telah menjadi to Mandar di daerah tersebut. Kecuali di beberapa tempat
di Mandar, seperti Mamasa. Selain daerah Mandar-atau kini wilayah
Provinsi Sulawesi Barat-tersebut, bahasa Mandar juga dapat ditemukan
penggunaannya di komunitas masyarakat di daerah Ujung Lero Kabupaten
Pinrang dan daerah Tuppa Biring
Struktur Pemerintahan
Selam
dua tahun terakhir, sangat kencang terdengar tuntutan pemekaran
Provinsi Sulsel menjadi sejumlah provinsi. Tuntutan awal yang sangat
menonjol terhadap berdirinya provinsi baru dengan nama Provinsi
Sulawesi Barat atau Provinsi Sulbar dicetuskan oleh masyarakat Mandar.
Berdirinya Sulbar sebagai provinsi baru menuntut pemekaran kabupaten
sebagai prerequisite yang harus dipenuhi sesuai dengan undang-undang.
Karena itu, Kabupaten Polewali –Mamasa dimekarkan menjadi Kabupaten
Polewali dan Kabupaten Mamasa.
Usul
agar kabupaten diubah menjadi Kabupaten Mandar sebaiknya diubah menjadi
“KABUPATEN MANDAR POLEWALI” karena kemungkinan masih akan ada Kabupaten
(Mandar-)Majene, dan Kabupaten (Mandar-)Mamuju, sedangkan Kabupaten
Mamasa tetap saja Kabupaten Mamasa tanpa embel-embel lain seperti
Mandar karena mayoritas masyarakat Mamasa termasuk masyarakat Toraja
Barat. Bisa saja orang Mamasa yang ingin mengubah nama Kabupaten Mamasa
menjadi Kabupaten Toraja Mamasa. Kata Toraja menunjukkan etnis
budayanya, sedangkan Mamasa menunjukkan ikatan politik atau ikatan
geografis yang menjadi tumpuan bagi institusi pemerintahan didalam
wilayah Provinsi Sulbar yang akan dibangun. Karena itu, tak
mengherankan bahwa para tokoh pendiri Provinsi Sulbar tidak menjadikan
Sulbar Provinsi Mandar seakan-akan Provinsi Sulbar hanya khusus bagi
masyarakat Mandar karena Kabupaten Mamasa adalah juga bagian tak
terpisahkan dari Sulbar.
Desentralisasi
dan Otonomisasi daerah (Otoda) harus diakui adalah sebuah proses yang
bertolak belakang dari sentralisasi kekuasaan yang otoriter.
Sentralisme kekuasaan dalam tangan penguasa yang otoriter telah
menguasai masyarakat nusantara yang majemuk yang hidup di berbagai
kepulauan nusantara yang bertaaburan diatas samudra. Mayarakat
nusantara mengalami perlakuan yang tidak adil. Jalan keluar dari
ketidakadilan adalah desentralisasi kekuasaan dan otonomisasi daerah.
Dengan kata lain, otoda adalah anak kandung dari usaha untuk memerangi
ketidakadilan dan usaha untuk mengendorkan kuatnya matarantai kekuasaan
otoriter yang membelenggu rakyat atau masyarakat nusantara.
Bukan
mustahil, lahirnya rencana Provinsi Sulbar adalah juga didasarkan pada
reaksi politik terhadap ketidakadilan dan management pemerintahan
daerah yang meniru-niru pusat. Kehadiran Provinsi Sulbar diharapkan
dapat menjamin penegakan keadilan oleh pemerintah Provinsi (Sulbar)
terhadap kabupaten-kabupaten hasil pemekaran.
Kata
kunci bagi pengembangan Provinsi Sulbar yang sudah lama ditunggu
follow-up Hukum undang-undang dan politiknya adalah “demokrasi, keadilan, dan kemajemukan.” Demokrasi
menuntut dihormatinya perbedaan-perbedaan dalam berbagai bidang yang
melibatkan masyarakat dengan background multi-ethnic yang saling
berbeda. Perbedaan itu akan hadir dan menjadi sesuatu kenyataan hidup
yang mempesona jika nilai keadilan justru menjadi kekuatan yang
menjamin kerukunan hidup bagi masyarakat yang pluralis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar